Terkait Fenomena PHK Massal Karyawan Perusahaan Digital, Ini Kata Celios

Bhima-Yudhistira

Pengamat ekonomi selaku Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira. Foto: Istimewa.

INDOPOS.CO.ID – Gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) karyawan perusahaan digital disebabkan oleh tekanan makro ekonomi yang cukup berat pascapandemi, mulai dari kenaikan inflasi, tren penyesuaian suku bunga, pelemahan daya beli, risiko geopolitik dan model bisnis yang berubah signifikan.

“Pascapandemi awalnya diharapkan akan terjadi kenaikan jumlah user dan profitabilitas layanan yang kontinu. Sebaliknya, harapan mulai pupus ketika konsumen terutama di Indonesia dan negara Asia Tenggara berhadapan dengan naiknya inflasi pangan dan energi sekaligus, sehingga mengurangi pembelian barang dan jasa melalui layanan platform digital,” kata Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira melalui keterangan tertulis, Jumat (18/11/2022).

Bhima mengatakan hampir sebagian besar startup yang lakukan PHK massal disebut sebagai pandemic darling atau perusahaan yang meraup kenaikan GMV (Gross Merchandise Value) selama puncak pandemi 2020-2021.

“Karena valuasinya tinggi, maka mereka dipersepsikan mudah cari pendanaan baru. Faktanya agresifitas ekspansi perusahaan digital ternyata saat ini tidak sebanding dengan pencarian dana baru dari investor. Banyak investor terutama asing menjauhi perusahaan dengan valuasi tinggi tapi secara profitabilitas rendah, atau model bisnisnya tidak sustain (berkelanjutan),” ungkap Bhima.

Menurut Bhima fenomena overstaffing atau melakukan rekrutmen secara agresif jadi salah satu penyebab akhirnya PHK massal terjadi.

“Banyak founder dan Chief Executive Officer (CEO) perusahaan yang over optimistis ternyata pascapandemi reda. Masyarakat lebih memilih omnichannel bahkan secara penuh berbelanja di toko offline (hanya pembayaran pakai digital/mobile banking. Transaksi dilakukan manual). Akibat overstaffing, biaya operasional membengkak, dan menjadi beban kelangsungan perusahaan digital,” katanya.

Bhima menjelaskan perubahan regulasi punya efek terhadap kelanjutan lini bisnis raksasa digital terutama di bidang keuangan.

“Sejak adanya standarisasi QRIS, banyak pengguna dompet digital yang kembali ke mobile banking. Beberapa perusahaan tidak mengantisipasi adanya perubahan cara main (level of playing field) dari regulasi sehingga menekan berbagai prospek pertumbuhan,” tuturnya.

Karena itu, kata Bhima, pemerintah harus mulai mengatur model bisnis e-commerce dan ride-hailing yang lakukan promo dan diskon secara besar-besaran untuk pertahankan market share, dampaknya persaingan usaha sektor digital menjadi kurang sehat.

Konsumen baru mungkin akan tergoda promo, tapi untuk terus-menerus lakukan promo, sebenarnya suicide mission (misi bunuh diri) bagi startup. Ketika pendanaan berkurang, sementara yang dikejar hanya valuasi, maka promo dan diskon menjadi jebakan keuangan. Harusnya perusahaan digital lebih mendorong perlombaan fitur yang memang dibutuhkan oleh konsumen.

“Gelombang PHK diperkirakan terus terjadi di berbagai perusahaan layanan digital lainnya. Mulai dari Fintech, Edutech, Healthtech juga riskan. Tahun 2023, kondisi ekonomi dengan adanya ancaman resesi global, membuat persaingan pencarian dana dari investor semakin ketat. Founder maupun CEO perusahaan digital harus bersiap menghadapi tekanan yang lebih besar,” katanya.

“Pemerintah harus turun tangan memastikan korban PHK baik karyawan tetap maupun karyawan kontrak yang diputus masa kerjanya wajib mendapatkan hak-hak sesuai peraturan ketenagakerjaan. Karena skala PHK-nya masif, Kementerian Ketenagakerjaan harus buat posko untuk menampung apabila ada hak pekerja yang tidak dibayar penuh, maupun ditangguhkan seperti pesangon, dan sebagainya,” tambah Bhima.

Pemerintah, lanjut Bhima, perlu mempersiapkan lapangan kerja baru, sebagai contoh korban PHK startup dapat diserap ke anak cucu Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Hal ini untuk menghindari hysteresis atau pelemahan keahlian karena korban PHK digital yang nota bene adalah high-skill worker (keahlian tinggi) menganggur terlalu lama. Sementara Indonesia diperkirakan masih memiliki gap kekurangan 9 juta tenaga kerja di ekosistem digital. (dam)

Exit mobile version