Jepang dan Inggris Resesi, DPR: Tinjau Ulang IKN dan Food Estate

Jepang dan Inggris Resesi, DPR: Tinjau Ulang IKN dan Food Estate - sawah food estate1 - www.indopos.co.id

Ilustrasi - Kawasan food estate Kalimantan Tengah di Kabupaten Kapuas dan Pulang Pisau. Foto: Kementan for INDOPOS.CO.ID

INDOPOS.CO.ID – Inggris dan Jepang tenggelam dalam jurang resesi. Dua negara dengan kapasitas ekonomi besar di dunia itu mengalami penyusutan ekonomi selama dua kuartal berturut-turut. Apaka mandeknya perekonomian dua negara itu dapat berkontribusi ke pelemahan ekonomi global, termasuk Indonesia?

“Bagi saya hal iri tidak berpengaruh signifikan terhadap Indonesia,” kata anggota Komisi XI DPR RI Ecky Awal Muharam, mengawali pembicaraannya kepada media, Jumat (23/2/2024).

Ecky pun menjabarkan alasannya, Jepang sudah lemah ekonominya sejak sepuluh tahun terakhir.

“Jepang mengalami stagnan perekonomiannya sudah sangat lama banget ya, bahkan sudah mencapai satu dekade. Dan sejak Covid-19 Jepang memang belum mengalami pertumbuhan yang signifikan. Dan terbukti tidak berpengaruh signifikan ke Indonesia saat ini,” ucapnya.

“Bahkan, meski Jepang termasuk yang FDI (Foreign Direct Investment-sumber pendanaan proyek pembangunan) nya termasuk tinggi di Indonesia, seperti halnya Singapura, Hong Kong, dan Tiongkok, namun hal (resesi) itu belum berdampak ke Indonesia,” terangnya.

Begitu pula dengan resesi Inggris, kata Ecky, dari konteks hubungan perdagangan maupun neraca pembayaran Indonesia dengan Inggris itu tidak signifikan.

“Jadi Inggris akan lebih jauh lagi pengaruhnya terhadap kepada Indonesia, dan Inggris juga memang mengalami perlambatan ekonomi sejak terjadi isu keluar dari Brexit, atau keluar dari Uni Eropa Inggris sampai sekarang itu belum juga pulih pertumbuhan ekonominya,” ungkapnya.

“Jadi saya masih punya optimisme bahwa tidak ada pengaruh signifikan dari Resesi di kedua negara tersebut,” tutur Ecky.

Dirinya pun turut mengungkapkan rasa syukurnya atas perkembangan memanasnya geopolitik internasional, seperti halnya perang Ukraina dan Rusia, serta aneksasi Israel terhadap Palestina juga tidak berpengaruh terhadap ekonomi Indonesia.

“Kita juga harus bersyukur bahwa apa yang di khawatirkan dalam geopolitik internasional seperti perang di Ukraina dan Palestina yang dijajah oleh Israel tidak terjadi eskalasi yang lebih besar yang bisa berdampak pada Indonesia,” jelasnya.

Meski begitu, politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini justru mewanti-wanti Indonesia akan mengalami perlambatan ekonomi bukan didasari atas resesi Jepang dan Inggris. Melainkan pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) ataupun pemerintahan berikutnya, pengganti Jokowi salah dalam mengambil kebijakan fiskalnya.

“Yang harus kita waspadai adalah pertama Indonesia harus melakukan kebijakan fiskal yang yang lebih prudence ya. Jadi, di mana pengeluaran kita untuk cicilan utang baik, termasuk bunganya sudah sangat signifikan dari APBN kita, harus dicari inovasi baru. Yaitu mendapatkan pembiayaan yang lebih murah sehingga beban Bunganya juga tidak terlalu besar,” tuturnya.

Waspada yang kedua, menurut Ecky adalah dari segi kualitas pembelanjaan, maka belanja pemerintah itu harus difokuskan kepada hal-hal yang memiliki multiplier effect kepada pertumbuhan ekonomi.

Dia pun mencontohkan kebijakan pemerintah Jokowi yang melakukan pembelanjaan pemborosan APBN adalah pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara di Kalimantan Timur.

“Pembelanjaan Negara untuk IKN yaitu yang luar biasa yang sesungguhnya tidak terlalu banyak multiplayer effect terhadap pertumbuhan ekonomi. Tidak hanya IKN, pembelanjaan Negara yang boros lainnya adalah program Food Estate, yang terbukti tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan dalam jangka pendek dan menengah,” ungkap Ecky.

“Jadi menurut saya kedua program pemerintahan Jokowi ini harus dikaji ulang. Karena bisa saja Indonesia sendiri yang mengalami resesi karena salah kebijakan,” cetusnya.

Selain itu, Ecky juga menyarankan untuk terus melakukan peneknaan terhadap nilai mata uang rupiah.

“Saran saya berikutnya adalah kebijakan dalam bidang moneter. Tekanan terhadap Rupiah terhadap Dollar Amerika masih juga belum kembali normal ya masih fluktuatif di atas Rp15.500 ya ini harus ditekan ke angka Rp 15.000. Semoga saja usai ketegangan di Pemilu 2024 ini, hal itu bisa ditekan,” harapnya.

“Dan siapapun presiden pengganti Jokowi harus juga lebih maksimal memainkan peran di tingkat internasional. Agar perubahan situasi geopolitik dapat di mitigasi sehingga tidak berefek ke Indonesia,” tutupnya. (dil)

Exit mobile version