Epidemiolog Ungkap Dampak Jangka Panjang Penderita Gagal Ginjal Akut

ginjal

Ilustrasi organ ginjal. Foto: Freepik

INDOPOS.CO.ID – Epidemiolog dari Universitas Griffith Australia Dicky Budiman mengemukakan, dampak berkelanjutan gangguan ginjal akut misterius (acute kidney injury/AKI) pada anak. Di antaranya menjalani rawat inap lebih lama, lantaran fungsi organ tubuh lainnnya bakal turut berdampak.

“Pasien dengan AKI menggunakan lebih banyak sumber daya dan memiliki lama rawat inap, yang lebih lama sebagian karena efek AKI pada fungsi organ lainnya,” kata Dicky Budiman dalam keterangannya, Jakarta, Sabtu (29/10/2022).

Termasuk tidak mudah dilepas dari alat bantu pernafasan atau dukungan mesin ventilator. Di sisi lain, fungsi ginjal tidak bisa sepenuhnya bisa kembali normal jika kelebihan cairan.

“Misalnya pasien AKI lebih sulit disapih dari ventilator. Pasien AKI lebih rentan terhadap kelebihan cairan yang mengakibatkan peningkatan mortalitas dan gangguan pemulihan ginjal,” tutur Dicky.

Ia menambahkan, pasien gagal ginjal akut misterius membutuhkan waktu cukup lama setelah menjalani perawatan di rumah sakit.

Ilustrasi organ ginjal. Foto: Freepik

“Ketika pasien meninggalkan rumah sakit, mereka umumnya membutuhkan pemulihan yang lama dan mungkin hasil akhir tidak memulihkan fungsi ginjal,” ujar Dicky.

Juru Bicara Kemenkes dr. Mohammad Syahril menyampaikan, kasus gangguan ginjal akut misterius (acute kidney injury/AKI) di Indonesia mengalami peningkatan. Data terbaru melaporkan mencapai 269 kasus yang tersebar di sejumlah provinsi Tanah Air.

“Pada 26 Oktober 2022 itu tercatat 269 kasus, terdiri dari 27 provinsi,” kata Syahril dalam jumpa pers virtual, Jakarta, Kamis (27/10/2022).

Ada penambahan 18 kasus gagal ginjal akut pada anak tersebut. Sebelumnya terdapat 251 kasus gagal ginjal akut yang berasal dari 26 provinsi hingga, Senin (24/10/2022) kemarin.

Menurut catatan Kemenkes, sebagain besar pasien gangguan ginjal akut misterius (acute kidney injury/AKI) tidak bisa buang air kecil. Itu berdasar data persentase gejala terkait produksi urin.

Data yang dikantongi Kemenkes menunjukan ada tiga persentase gejala perihal produksi urin. Gejala tidak bisa buang air kecil disebut anuria, keluhan kencing sedikit atau oliguria dan tidak mengalami gejala keduanya.

“Dari data yang ada 143 atau 53 persen itu anuria. Kemudian oliguria 22 persen dan tidak anuria dan oliguria 25 persen,” beber Syahril. (dan)

Exit mobile version