Emrus : Tragedi Kemanusiaan Gagal Ginjal, Harus Ada yang Bertanggungjawab

Emrus : Tragedi Kemanusiaan Gagal Ginjal, Harus Ada yang Bertanggungjawab - Emrus S - www.indopos.co.id

Emrus Sihombing, komunikolog Indonesia ( foto istimewa)

INDOPOS.CO.ID – Komunikolog Indonesia Emrus Sihombing menyikapi polemik kasus meninggalnya ratusan anak kecil akibat gagal ginjal akut yang diduga disebabkan oleh penggunaan obat sirup tertentu muncul di ruang publik.

Menurut dosen Universitas Pelita Harapan ini, hingga kini belum ada pihak menyatakan pesan komunikasi secara definitif bahwa pihaknya yang paling bertanggungjawab atas kejadian luar biasa tersebut.’ Mengapa hingga kini belum ada pihak yang bertanggungajwan atas kejadian yang luar bosa tersebut,” ujar Emrus kepada indopos.co.id, Minggu (30/10/2022).

Emrus menduga, belum adanya pihak yang mengaku bertanggung jawab terhadap kasus yang menarik perhatian publik tersebut bisa saja terjadi karena, ketika kewenangan atau peran seolah “berlomba-lomba” untuk memperolehnya karena di sana ada “manisan”. “Bahkan tidak jarang terjadi tumpang tindih kewenangan atau peran untuk ikut mencicipi “manisan” tersebut,” cetusnya

Namun, kata Emrus, bila tiba ada “pahitnya” seperti banyak anak kecil yang meninggal dunia setelah mengkonsumsi obat sirup tertentu, sampai saat ini belum ada yang “berlomba-lomba” menyampaikan pesan komunikasi ke ruang publik bahwa pihaknya yang paling bertanggungjawab. Padahal, jelas negara menyediakan Kementerian dan badan yang salah satu fungsinya melakukan pengawasan.

“Pemimpin original, sejati dan bernas harus selalu berpihak kepada publik dan tidak boleh berlindung di balik aturan normatif, harus berani membuat trobosan asal untuk keselamatan kemanusiaan,” tegasnya.

Karena itu, kata Emrus, jika ada aturan atau kebijakan yang dibuat oleh pejabat lain sekalipun itu atasanya, yang kemungkinan kelak bisa berdampak serius atau menimbulkan tragedi kemanusiaan sebagai konsekuensi implementasi aturan tersebut, harusnya orang yang bersangkutan wajib baginya secara moral dan etis berjuang agar aturan tersebut dicabut, paling tidak direvisi bagian tertentu.

Ilustrasi organ ginjal. Foto: Freepik

“Jika tidak berhasil, sangat tepat orang yang bersangkutan menyatakan mudur dari jabatannya lebih awal sebelum terjadi peristiwa kemanusiaan yang memilukan,” sarannya.

Emrus menambahkan, jabatan itu adalah amanah bukan seolah dipertahankan dengan berlindung di balik aturan normatif, termasuk yang dikeluarkan oleh pejabat lain sekalipun itu atasanya.

“Jika tidak mundur di tengah tragedi kemanusiaan, pejabat tersebut layak disebut manusia normatif yang berperan mekanistis, persis pola kerja robot. Kepadanya sulit diminta tanggung jawab atas dasar pertimbangan kemanusiaan. Sebab, pemimpin “robot” selalu bekerja berdasarkan stimulus-respon yang jauh dari nilai humanis,” tandasnya (yas)

Exit mobile version