Gelombang PHK Tak Terbendung, Pemerintah Didesak Segera Revisi UU Ciptaker

PHK

Ilustrasi pekerja kena pemutusan hubungan kerja (PHK). (Freepik)

INDOPOS.CO.ID – Gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) di berbagai industri terus berlanjut. Kondisi tersebut diperparah karena Undang-Undang Cipta Kerja dinilai tidak memberikan perlindungan yang layak bagi korban PHK.

Anggota DPR dari Fraksi PKS, Amin Ak meminta, pemerintah mengambil sikap tegas terkait status Undang-Undang Cipta Kerja saat ini. Sebab, sudah banyak suara keprihatinan menyatakan regulasi tersebut tidak menguntungkan bagi pekerja.

“Pemerintah perlu melihat bahwa sudah banyak masyarakat yang dikorbankan oleh “ketidakberpihakan” aturan kepada buruh dalam UU Cipta Kerja,” kata Amin dalam keterangannya, Jakarta, Selasa (22/11/2022).

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyatakan UU Cipta Kerja Inkonstitusional bersyarat dan wajib memperbaikinya dalam dua tahun, adalah solusi yang semestinya dimanfaatkan dengan baik.

Ia mengatakan, sebetulnya MK masih menyelamatkan “muka” pemerintah dengan tidak membatalkan UU Cipta Kerja secara keseluruhan, namun memberikan waktu untuk perbaikan. “Jangan ditunda lagi. Perbaikan itu harus segera dilakukan,” ucap Amin.

Ia menyoroti, Pasal 151 ayat 2 dalam UU Ciptaker menyebutkan apabila PHK tidak dapat dihindari, alasan PHK “diberitahukan” oleh pengusaha kepada pekerja.

Ketentuan itu berbeda dengan pasal 151 ayat 2 di dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang menyebutkan bahwa apabila PHK tidak dapat dihindari, maka pemutusan hubungan kerja wajib dirundingkan pengusaha dan serikat pekerja atau pekerja.

Ia pun berharap, perubahan yang dilakukan bukan hanya sekedar mengubah prosedur penyusunannya, supaya metode omnibus dianggap legal. Perubahan itu harus menyentuh substansinya, agar betul-betul adil dan tidak merugikan baik buruh maupun pengusaha.

Amin juga menyoroti sulitnya pekerja atau buruh menuntut hak pesangon karena prosedur hukumnya sangat panjang. Sudah banyak kasus, perusahaan tidak membayarkan hak pesangon sebagaimana diatur dalam UU Ketenagakerjaan.

Pekerja korban PHK dihadapkan pada kondisi sulit karena prosedur menuntut pesangon hingga sampai ke pengadilan bukan perkara gampang. Tuntutan pesangon hingga ke meja pengadilan seringkali terpaksa ditempuh pekerja korban PHK.

Pasalnya selama ini Kementerian Ketenagakerjaan maupun Dinas Ketenagakerjaan di daerah umumnya tak banyak membantu menekan perusahaan. “Pemerintah harus bisa memastikan pekerja atau buruh korban PHK mendapatkan pesangon yang layak,” imbuhnya.(dan)

Exit mobile version