Pakar Hukum Tata Negara: Politik Dinasti Merusak Demokrasi

bivitriip

Pakar Hukum Tata Negara, Bivitri Susanti. (Instagram Bivitri Susanti)

INDOPOS.CO.ID – Pakar Hukum Tata Negara, Bivitri Susanti menyatakan bahwa politik dinasti kembali menjadi perhatian publik. Praktik politik dinasti ini juga berperan dalam merusak kualitas demokrasi.

Dinasti politik seringkali mengganggu rasionalitas pemilih, dan ia menekankan pentingnya semua pihak menyadari dampak dari praktik politik dinasti tersebut.

Menurut Bivitri, politik dinasti dapat merusak demokrasi karena melemahkan kontrol terhadap kekuasaan.

“Kekuasaan akan mengalami penurunan kontrol jika hubungan kekerabatan ada di dalam institusi-institusi politik. Hal ini karena satu pihak dapat menjadi toleran terhadap institusi, bahkan memfasilitasi jalan bagi kerabatnya yang menduduki jabatan tertentu,” katanya dalam keterangan rilis yang dikutip indopos.co.id, Senin (6/11/2023).

Bivitri mengilustrasikan situasi yang terjadi dalam pemerintahan Presiden Joko Widodo atau Jokowi saat ini. Jokowi memimpin cabang kekuasaan eksekutif, sementara cabang kekuasaan yudikatif, yaitu Mahkamah Konstitusi (MK), dipimpin oleh adik ipar Jokowi, yakni Anwar Usman.

Dampaknya, menurut Bivitri, MK mungkin akan lebih mudah dipengaruhi oleh adik ipar Jokowi. Bivitri menyatakan bahwa jika hal ini dibiarkan, maka dapat membuka celah bagi praktik korupsi, bahkan mungkin berakhir dengan penghancuran demokrasi. Pembajakan terhadap demokrasi ini dilakukan melalui cara yang tampak demokratis dan sesuai dengan prosedur yang seakan-akan mengikuti aturan.

“Nancy Bermeo bilang, ‘democratic backsliding’ yaitu demokrasi yang dibajak tetapi dengan cara yang demokrasi,” ujarnya.

Dia pun menuturkan bahwa bahaya lain dari dinasti politik adalah bahwa konsentrasi kekuasaan hanya terpusat di beberapa titik. Akhirnya, kekuasaan hanya dimonopoli oleh kelompok orang yang sama. Dampaknya, demokrasi kita menjadi sekadar formalitas prosedural.

“Hal ini sedang terjadi saat ini. Konsentrasi kekuasaan di lingkaran tertentu dapat menghambat inovasi kebijakan atau perubahan yang signifikan. Para pemegang kekuasaan cenderung hanya meneruskan atau mengulangi kebijakan-kebijakan yang telah ada sebelumnya,” tuturnya.

Selain itu, dia menjelaskan bahkan dalam situasi yang besar seperti saat reformasi terjadi, yang melibatkan demonstrasi massal dan korban jiwa, pertanyaannya adalah apakah suara kita benar-benar didengar oleh pihak berwenang. Tampaknya tidak, karena Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) masih menjadi isu yang belum terselesaikan hingga sekarang. Bivitri menekankan bahwa saat ini di Indonesia telah muncul dinasti politik yang terkait dengan Jokowi.

“Dengan cepat atau lambat, dinasti ini dapat merusak demokrasi di negara ini. Oleh karena itu, diperlukan pembuatan aturan yang melarang praktik politik dinasti, karena hanya mengandalkan etika politik dianggap tidak cukup efektif. Diperlukan tekanan struktural karena sejujurnya, mengharapkan etika dari aktor-aktor politik seperti Ketua MK, Pak Jokowi sendiri, Bobby, Kaesang, Gibran, atau partai politik secara umum, mungkin akan sia-sia. Membahas etika politik dengan mereka sangat sulit,” jelasnya.

Tak hanya itu, terkait dengan gugatan batas usia calon presiden dan wakil presiden, Bivitri menegaskan bahwa kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK) hanyalah untuk menentukan apakah suatu pasal melanggar konstitusi atau tidak, bukan untuk membuat aturan baru.

“Oleh karena itu, MK disebutnya sebagai “negative legislator” yang tidak seharusnya menjadi “positive legislator.” Membuat aturan baru bukanlah tugas MK,” pungkasnya. (fer)

Exit mobile version