PKB Ikut Angket Kecurangan Pemilu? CSIIS: Hil yang Mustahal

Bendera-PKB

Ilustrasi Bendera PKB (ist)

INDOPOS.CO.ID – Keseriusan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) mengawal hak angket di DPR RI dan ikut mengepung Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk mengungkap dugaan kecurangan pemilu 2024 bersama partai pendukung Calon Presiden Anies Baswedan ataupun Ganjar Pranowo ternyata diragukan oleh pengamat politik Islam, Dr Sholeh Basyari.

Menurutnya, partai besutan Muhaimin Iskandar ini akan mempertimbangkan dampak politik dari kedua rencana itu.

“Hak angket mau pun gerakan kepung KPU, itu dianggap tidak strategis bagi PKB. PKB hanya beretorika dan tidak serius mengawal dua agenda tersebut,” kata Sholeh dalam keterangannya kepada Indopos.co.id, Jumat (15/3/24).

“Istilahnya kalau meminjam bahasa pelawak Asmuni, sikap PKB itu adalah hil yang mustahal. Percayalah!” sambungnya.

Direktur Ekskutif CSIIS (Center for Strategic on Islamic and International Studies) inipun mengungkapkan bahwa pihaknya mendapat informasi bahwa Muhaimin telah bertemu dengan kubu Prabowo.

“Dalam pertemuan tersebut Cak Imin menawarkan diri untuk gabung kubu Prabowo dan ‘hanya’ minta satu slot kementerian saja. Ini informasi A1 (dapat dipercaya) yang masuk ke saya,” terangnya serius.

Tetapi, lanjutnya, kubu Prabowo merespon tawaran ini dengan ‘zero bargaining’ untuk PKB. PKB kalau mau gabung, gabung saja, tanpa syarat ini dan itu. “Bahkan sadisnya Kertanegara menyebut PKB boleh gabung, tetapi dengan syarat ganti ‘nahkoda’ terlebih dahulu. Ini tamparan keras bagi Cak Imin,” tegasnya.

Suara PKB yang dinyanyikan Luluk Nur Hamidah, tegasnya, adalah retorika atas arahan Muhaimin terkait hak angket maupun (yang terbaru) gerakan kepung KPU yang diinisiasi Din Syamsuddin dan Refly Harun. “Sejatinya itu hanya menggambarkan kegelisahan PKB secara umum dan Cak Imin secara khusus yang sudah terlempar dari pusat kekuasaan,” jelasnya.

PKB, kata Sholeh, sekarang sadar betul, bahwa, baik hak angket maupun gerakan kepung KPU, akan ‘sia-sia’ belaka dengan merujuk sejumlah hal ini. Pertama, PKB adalah ‘konseptor’ utama amandemen konstitusi dalam Panitia Ad Hoc (PAH) terkait menutup semua pintu yang memungkinkan adanya pemakzulan presiden.

“Sikap PKB ini didasarkan atas betapa menyakitkan pelengseran Gus Dur oleh Amien Rais, Megawati, Widodo AS dan Marsilam Simanjuntak, ketika belum sampai setengah periode kekuasaannya sudah digulingkan,” terangnya.

Kedua, lanjutnya, gerakan kearah ‘revolusi’, tak akan jauh dari retorika belaka alias membentur tembok, kuldesak, jika tanpa dukungan dan kolaborasi dengan militer, pelaku usaha skala besar dan legitimasi sosial dari organisasi masyarakat maupun kekuatan agama dominan.

“UI dan UGM tidak cukup memadai untuk mengulang peristiwa ’98, manakala NU, ‘sembilan naga’, apalagi tidak satu pun kesatuan-kesatuan dalam militer terlibat dalam gerakan ini,” urainya.

Peristiwa ’65, tambahnya, Jenderal Soeharto bersama Kostrad membackup Arif Rahman Hakim, Cosmos batubara maupun Sofyan Wanandi. PBNU juga sangat aktif menggerakkan Ansor, Banser dan Subhan ZE. Sementara pada peristiwa ’98, Marinir bahu membahu dengan para demonstran, berbagi air dengan narasi tunggal ‘turunkan Soeharto’.

“Ingat! Dukungan dan konspirasi internasional juga kuat kala itu: 1965 dan 1998. Saat ini, sekarang, boro-boro dukungan internasional, Amerika kedodoran mengatasi Hamas dan Hauthi. Rusia kelelahan mengalahkan Ukraina. Yang tersisa tinggal China, tetapi Tiongkok terlalu berorientasi untung-rugi dalam semua langkah diplomatik dan bantuannya,” tegasnya.

Ketiga, kedekatan NU dengan semua kekuatan civil society yang dibangun Gus Dur, mau pun posisi bergengsi NU di mata militer dan Kepolisian Nasional kita, tampaknya tidak didayagunakan sebagai dinamisator gerakan hak angket ini.

“Di tangan Jokowi, NU menjelma menjadi good guys, anak manja yang full fasilitas, suatu karakter yang benar-benar baru bagi kaum nahdliyyin,” pungkasnya. (dil)

Exit mobile version