Revisi UU Jakarta Diminta Memuat Aspirasi Warga Betawi

Kaukus Muda Betawi

Sarasehan Masyarakat Betawi bertema "Jakarta tanpa Ibu Kota: Gerak dan Peluang Masyarakat Betawi" yang digelar Kaukus Muda Betawi di Hotel Sangri-La Jakarta, pada Selasa (1/2).

INDOPOS.CO.ID – Warga Betawi tidak boleh berdiam diri menyusul dicabutnya status ibu kota negara (IKN) dari Jakarta.

Hal itu dikemukakan oleh Ketua Umum Lembaga Kebudayaan Betawi (LKB), Beky Mardani dalam Sarasehan Masyarakat Betawi bertema “Jakarta tanpa Ibu Kota: Gerak dan Peluang Masyarakat Betawi” yang digelar Kaukus Muda Betawi di Hotel Sangri-La Jakarta, pada Selasa (1/2).

“Sebagai anak Betawi, kita harus mendorong dan berpartisipasi penuh dalam pembahasan revisi Undang-Undang (UU) 29/2007 tentang Pemerintahan DKI Jakarta sehingga turut andil dalam menentukan Jakarta ke depannya ingin seperti apa,” ujarnya.

“Nah, pemerintah dan DPR juga harus melibatkan serta memperhatikan aspirasi warga Betawi sebagai penduduk asli Jakarta dalam proses penyusunannya,” sambungnya.

Menurut Beky, ada empat hal yang harus diperhatikan agar revisi UU Pemerintahan DKI Jakarta, yakni ekonomi, sosial, politik, dan budaya masyarakat Betawi.

“Keempat ini harus menjadi fokus utama dalam mengusulkan revisi UU 29/2007 karena Betawi hanya disinggung di dalam Pasal 26 ayat (6). Itu pun sebatas pengembangan budaya,” jelasnya.

Sementara itu, Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI dari daerah pemilihan DKI Jakarta, Dailami Firdaus, mengusulkan adanya organisasi yang mewadahi warga Betawi. Dicontohkannya dengan Aceh yang memiliki Majelis Adat Aceh (MAA).

“Keberadaan Majelis Adat dapat menggantikan kekhususan Ibu Kota Jakarta,” kata dia.

Bang Ferdy, sapaan karib Dailami Firdaus, mengusulkan demikian lantaran filosofi sejarah Jakarta, filosofi interaksi budaya di Jakarta, dan filosofi perlunya membangun kemitraan antara pemerintah daerah dengan Majelis Adat Betawi.

Sementara, Ketua Umum Forum Betawi Rempug (FBR), Lutfi Hakim menyoroti pentingnya revisi UU 29/2007 tidak mengulangi lagi kesalahan dalam mentransfer nilai kebetawian.

“Revisi UU menjadi momentum bagi warga Betawi untuk membangun sistem transfer nilai kebetawian untuk anak dan cucu Betawi. Melalui revisi UU ini, saya berharap, nantinya ada metode yang efektif agar nilai kebetawian dapat dipelajari setiap generasi ke depan,” tuturnya.

“Bahkan melalui revisi UU, diharapkan juga akan mengubah regulasi di tingkat provinsi,” tambahnya.

Sementara itu, akademisi Betawi, Agus Suradika, memiliki pendapat berbeda. Baginya, tetap penting melakukan uji materiel UU IKN ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Meskipun demikian, dia juga mendorong warga Betawi mengupayakan revisi terhadap UU 29/2007.

“Uji konstitusi itu penting, tapi biarkan itu dilakukan oleh Betawi yang lain. Tapi, revisi UU jauh lebih penting karena menyangkut posisi orang Betawi, menyangkut generasi Betawi ke depan. Untuk itulah, kedua kajian ini harus berjalan seiiring dan dilakukan secara serius, memperhatikan berbagai faktor, seperti geopolitik, kesejarahan, kebudayaan, peradaban, serta ekonomi,” bebernya.

Tokoh Betawi lainnya, N Syamsuddin Ch. Haesy, berpandangan, disahkannya UU IKN adalah takdir agar masyarakat Betawi mampu menjadi warga yang bermartabat.

“Warga Betawi harus berterima kasih dengan adanya UU IKN baru karena memberikan kesadaran politik warga Betawi untuk dapat menjadi bagian bahkan dapat mendominasi politik di Jakarta,” katanya.

Syamsuddin menjelaskan, ada empat aspek utama yang mesti termaktub dalam revisi UU 29/2007. Yakni, ideologi atau nilai, pendidikan, hukum dan ekonomi.(arm)

Exit mobile version