Regulasi Lobster Kembali Memanas, 4 kali Ganti Nama

lobster

Praktisi perikanan Indonesia Muhibbuddin Koto. Foto: Ist

INDOPOS.CO.ID – Peraturan terkait lobster kembali mengudara, setelah 10 Maret 2022 lalu, Biro Hukum Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menggelar Konsultasi Publik di Bandung.

Langkah pemeritah tersebut tentu mengundang banyak tanya karena kurang dari satu windu regulasi yang mengatur komoditi lobster, kepiting dan rajungan tersebut sudah 4 kali berganti nama. Terakhir diundangkan dengan nama Permen KP 17 tahun 2021.

Menurut praktisi perikanan Indonesia Muhibbuddin Koto, alasan regulasi berganti begitu cepat, karena ada kepentingan politik (pencitraan), kepentingan smuggler (diduga) dan lemahnya landasan untuk membuat regulasi.

“Sehingga menyebabkan bongkar pasang, tergantung siapa MKPnya, bahkan regulasi yang dikeluarkan sangat kurang ideal, cenderung terlalu dipaksakan. Kurang melibatkan pemangku kepentingan. Data lemah, analisa lemah. Amburadul deh kesimpulannya,” ungkap Budhy, sapaan akrab Muhibbuddin Koto, Jumat (18/3/2022), kepada Indopos.co.id.

Budhy menjabarkan, banyak catatan terkait regulasi terlebih khusus pandangannya untuk Konsultasi Publik Permen 17 tahun 2021, yang baru-baru ini dihadirinya secara langsung.

Sedikitnya 7 pertanyaan yang diajukan, tak bisa dijawab secara gamblang oleh tim KKP yang melakukan Konsultasi Publik.

“Banyak catatan, perbaiki data stock BBL (benih bening lobster). Inventarisasi dengan cermat nelayan dan pembudidaya lobster. Jika masih akan revisi Permen baru, mari duduk bareng lagi, mulai dari nol, libatkan akademisi dan praktisi kompeten,” papar Budhy.

Selain pertanyaan Budhy juga memberikan sedikitnya 7 masukan disaat konsultasi publik tersebut.

Diantaranya, pemerintah perlu evaluasi lagi ukuran lobster yang dibolehkan ekspor, lalu atur keseimbangan produksi nelayan dan daya serap pembudidaya, pemerintah berikan solusi mahalnya biaya logistik lobster dari lokasi Pembudidaya/nelayan ke luar negeri. Pemerintah idealnya mencarikan cara bagaimana agar penyeludupan jadi nol.

“Jika 6 poin tersebut tidak bisa dilaksanakan, sebaiknya cabut saja Permen lobster. Gak usah diatur, sangat mungkin dampaknya akan lebih positif. Kita mengacu hasil kajian Komnaskajiskan, stock lobster 11 ribu ton. Ini artinya 11 juta kilogram. Jika berat rata-rata 250 gram sama dengan 44 juta ekor. Berapa produksi BBL?,” urai Budhy.

Budhy berasumsi dari data yang disebutkan misalkan, betina 22 juta ekor, jika 50% nya reproduktif dalam setahun, berarti ada 11 juta ekor induk dari semua jenis lobster ( data mencatat 6 jenis). Fekunditas rata rata 250 ribu, 2 kali setahun berarti 500 ribu.

” Nah 11 juta dikalikan 500 ribu, berarti 5,5 T telur per tahun. Anggap HR (Hatching Rate) nya 90% : 4,95 T larva lobster “

Anggap SR untuk mencapai puerulus 1%. Maka setidaknya dihasilkan 49,5 milyar BBL per tahun,” hitungnya.

Selama ini, lanjut Budhy, daya serap Vietnam hanya maksimal 300 juta ekor per tahun, untuk 2 jenis seperti lobster mutiara dan pasir.

Daya serap pembudidaya lokal < 5 juta ekor. Apakah lobster Indonesia akan punah jika diambil 300 juta ekor dari stock 49,5 milyar? Berdasarkan suguhan data, asumsi dan kajian menurut Budhy, untuk membuat satu kebijakan lahirlah regulasi yang kredibel dan berdasar data dan fakta valid serta berdasarkan teori dan analisa yang benar.

“Sampai tahun 2014 gak ada masalah dan kehebohan dengan Lobster. Justru setelah diatur 4 kali, perlobsteran jadi kacau. Menghabiskan energi dan waktu proses diskursus nya. Bahkan menghasilkan kasus hukum yang banyak. Sudah berapa banyak nelayan terpidana, kurir, pengepul. Sementara smuggler nya aman aman saja,” pungkas Budhy. (ney)

Exit mobile version