Kurikulum Merdeka, Ketua Panja Pendidikan: Jangan Terburu-buru dan Dievaluasi Lagi

mendikbud

Ilustrasi belajar mengajar. Foto: Dokumen Indopos

INDOPOS.CO.IDKurikulum Merdeka adalah kurikulum 13 (Kurtilas) yang disederhanakan (kurikulum darurat). Perwajahan Kurikulum Merdeka berbeda dengan Kurtilas.

Pernyataan tersebut diungkapkan Wakil Ketua Komisi X DPR RI Abdul Fikri Faqih melalui gawai, Selasa (12/4/2022). Menurut dia, dalam kurikulum merdeka terdapat beberapa terobosan, seperti kampus merdeka, sekolah pengerak hingga merdeka belaajar.

“Secara subtansi kedu kurikulum ini sama. Hanya sarana dan prasarana (Sarpras) yang membedakan kedua kurikulum ini. Seperti IT dan peralatan kesehatan saat pandemi,” katanya.

Politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini menuturkan, dari kurikulum KTSP, Kutilas, Kurikulum darurat, kurikulum merdeka hanya ada dua komponen pokok, yakni guru dan sarpras.

“Keduanya sangat fital pada sistem pendidikan nasional. Misalnya guru yang tidak pernah di upgrade, sampai sekarang pola mengajarnya sama, meskipun sudah berganti-ganti kurikulum,” jelasnya.

Ketua Panitia Kerja (Panja) Pendidikan ini menilai, pemerintah tidak harus memaksakan merubah kurikulum yang ada. Apalagi ada opsi penggunaan kurikulum disesuaikan atau pilihan (opsional). Baik itu kurikulum darurat, kurtilas atau kurikulum merdeka.

“Nantinya ini akan menyebabkan kesulitan saat asesmen nasional (AN). Karena AN yang menggantikan Ujian Nasional (UN) standarnya menyesuaikan kurikulum merdeka,” ungkapnya.

“Jadi mereka yang menggunakan Kurtilas jadi tidak relevan, meskipun substansinya sama. Tapi kan banyak yang secara teknis berbeda. Akhirnya ini ambiguitas, dan yang terjadi di lapangan bingung,” imbuhnya.

Meskipun, dikatakan dia, konsepnya mudah, akan tetapi pelaksanaannya mengalami kesulitan saat melakukan koordinasi. Untuk itu, dia meminta agar Kementerian Pendidikan, Kebudayaan dan Riset, Teknologi (Kemdikbudristek) agar tidak terburu-buru merubah kurikulum.

Apalagi, menurut dia, tidak ada perubahan secara mendasar. “Kalau belum urgen sebaiknya tidak usah merubah kurikulum. Apalagi tidak ada perubahan yang mendasar. Ini kata pakar melakukan pekerjaan yang sama tetapi ingin hasil yang berbeda. Ini hanya menghambur-hamburkan anggaran,” tegasnya.

“Apalagi ini ada tuntutan Sarpras. Kita itu belum siap. Sebelum pandemi saja ada 1,8 juta ruang kelas dan 1,3 juta rusak. Dan tidak ada skema perbaikan. Ini baru ruang kelas, belum laboratorium atau ruang praktik dan lainnya,” imbuhnya.

Ia meminta agar Kemdikbudristek melakukan evaluasi pelaksanaan kurikulum merdeka. Selain harus mempersiapkan grand desain (Blue print) sistem pendidikan nasional. Sebab, menurut dia, pendidikan adalah kebutuhan mendasar yang harus diperhatikan. (nas)

Exit mobile version