UU TPKS Dinilai Belum Tuntas, Ini Sejumlah Catatan LBH Jakarta

Kekerasan Perempuan

Ilustrasi kasus kekerasan terhadap perempuan. Foto: Ist

INDOPOS.CO.ID – Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta menilai, masih ada beberapa pekerjaan rumah yang tersisa dari naskah terakhir Rancangan Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS).

Pertama, jaminan ketidak berulangan tidak tegas diatur sebagai asas undang-undang. Absennya asas tersebut berdampak pada kualitas beragam upaya pencegahan dan pemulihan bagi korban kekerasan seksual.

Kedua, tindak pidana pemaksaan aborsi tidak diatur. Padahal menurut Laporan YLBHI dan 17 LBH se-Indonesia, terdapat tujuh korban pemaksaan aborsi di tahun 2020. Sementara menurut Komnas Perempuan, terdapat sembila korban.

“Sebagai upaya perlindungan,  perlu ada aturan yang menegaskan “tidak memidana” korban pemaksaan aborsi baik karena kedaruratan medis maupun kehamilan akibat kekerasan seksual,” kata pengacara publik LBH Jakarta, Citra Referandum dalam keterangannya, Rabu (13/4/2022).

Ketiga, tidak mengatur definisi beberapa tindak pidana, seperti perkosaan, perkosaan terhadap anak, perbuatan cabul terhadap anak, dan pemaksaan pelacuran.

“Ketiadaan definisi ini (poin ketiga) berpotensi menimbulkan disparitas pemahaman atau multitafsir dalam level implementasi,” nilai Citra.

Keempat, hak korban terkait penanganan belum seluruhnya diakomodir, seperti hak atas kemudahan mengakses layanan pengaduan, hak menyampaikan keterangan dan pendapat secara bebas.

“Hak untuk mendapatkan izin meninggalkan pekerjaan dengan mendapat upah penuh, hak bebas dari pertanyaan menjerat dan hak untuk tidak mendapatkan stigma dan perlakuan diskriminasi,” ujarnya.

Kelima, hak korban terkait perlindungan belum seluruhnya diakomodir, seperti hak untuk mendapatkan pemberdayaan hukum dan terlibat dalam proses pelaksanaan perlindungan.

“Hak untuk mendapatkan layanan rumah aman dan hak mendapatkan informasi, dalam hal tersangka atau terdakwa tidak ditahan atau terpidana akan selesai menjalani masa hukuman,” imbuh Citra.

Keenam, hak korban terkait pemulihan juga belum seluruhnya diakomodir, seperti hak atas pemulihan sosial budaya dan hak atas pemulihan politik.

Meski sudah mengatur pemulihan secara fisik, psikologi dan ekonomi namun Undang Undang TPKS belum menjamin kebutuhan korban dengan rinci.

“Misal, tidak ada jaminan atas kebutuhan dasar yang layak layanan keterampilan, modal usaha, dan/atau kemudahan akses mendapat pekerjaan yang layak, serta layanan kemudahan pemulihan kepemilikan harta benda,” cetus Citra.

Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) resmi disahkan jadi Undang-Undang dalam paripurna DPR pada, Selasa (12/4/2022). (dan)

Exit mobile version