Oleh: Azrul Ananda
INDOPOS.CO.ID – Saya sempat punya pengakuan kepada Wali Kota Madiun, Pak Maidi, ketika bertemu beliau. Keluarga Abah saya berasal dari kawasan itu, tapi saya sangat jarang menyebutnya.
Kalau pun sering ke sana, biasanya hanya cepat-cepatan. Kalau ada meeting ya datang lalu langsung pulang ke Surabaya. Kalau pun latihan gowes endurance, ya hanya mampir sekelebat. Makan lalu langsung gowes balik Surabaya (total 320-an km). Atau, makan sejenak lalu langsung lanjut naik ke Sarangan (total 200 km).
Dulu, kalau gowes ke Madiun, paling hanya foto di depan kereta api kecil di pintu masuk kota. Itu saja. Untuk jadi “syarat” bahwa sudah sampai di Madiun.
Itu dulu. Dalam dua tahun terakhir, saya mengakui ke beliau kalau diam-diam saya terkejut dengan perubahan drastis Madiun. Masuk kotanya langsung memberi kesan “wow.” Jadi ingin berhenti-berhenti. Teman-teman saya juga ingin foto di sana-sini.
Trotoarnya lebar-lebar, rapi, bersih, dan rindang. Tempat-tempat duduk –lengkap dengan meja– tersebar di berbagai penjuru kota. Orang bukan hanya bisa jalan-jalan nyaman, tapi juga duduk-duduk dengan asyik bersama teman atau keluarga.
Tempat duduk dan meja paling berkesan buat saya adalah yang terletak di Jalan Pahlawan, tepat di depan Balai Kota Madiun. Orang bisa duduk, berfoto, dengan latar belakang Balai Kota. Kalau naik sepeda, bisa sandarkan sepeda di meja, duduk, lalu berfoto di depan situ sebagai penanda sudah gowes sampai Madiun.
Waktu ngobrol di lokasi itu, saya sampaikan ke Pak Maidi, saya sangat menyukai filosofi tempat duduk dan meja itu. Karena itu memaksa gedung di latar belakangnya (Balai Kota) untuk selalu terlihat bagus. Karena kalau wibawa gedung itu hilang, maka fotonya akan “buruk” dengan sendirinya.
Pak Maidi lantas mengajak saya menyeberang jalan. Melihat kawasan “Galeri 6 Negara.” Masih belum jadi, tapi akan segera jadi. Ada Patung Merlion ala Singapura di situ. Di depannya ada tangga turun, menuju sebuah “terowongan.” Masih belum jadi, tapi akan ada tempat wisata menarik di bawah situ. Orang bisa naik perahu, atau jalan kaki, menuju bagian lain kota. Maaf, ke “negara lain” di tengah kota. Semua di “bawah tanah,” di bawah jalanan dan bangunan di tengah kota.
Di seberang jalan ada replika Kabah, sedang dibangun replika Madinah. Di belakangnya, sedang dibangun replika Menara Eifel. Nantinya, akan ada enam negara yang terwakili di situ. Singapura, Arab Saudi, Prancis, Inggris, Belanda, dan –yang keenam dan terpenting– Indonesia. Di sekelilingnya ada galeri UMKM, menjual produk-produk asli Madiun.
Biasanya, kalau membangun seperti ini, meleset sedikit saja bisa terkesan tidak keren. Pak Maidi tampak sangat berupaya agar itu tidak terjadi. Mantan guru geografi, beliau bilang selalu mengawasi sendiri, memastikan supaya segalanya sesuai ekspektasi.
Pak Maidi benar-benar ingin menyiapkan masa depan untuk Madiun, menjadikannya kota wisata unik. Dia ingin ada lima juta pengunjung setiap tahunnya ke Madiun. Dan yang saya suka, beliau tidak muluk-muluk dulu dalam mengincar wisatawannya.
Ada sebelas kota/kabupaten di sekitar Madiun, dengan populasi lebih dari sepuluh juta orang. Mereka itu dulu yang harus diutamakan untuk senang ke Madiun. Baru kemudian kota-kota besar yang sekarang dengan mudah bisa menjangkau Madiun. Berkat jalan tol, hanya butuh dua jam (atau kurang) dari Surabaya ke Madiun. Kalau dari Solo, tidak sampai satu jam. “Hanya 45 menit dari Solo,” tegasnya.
Pak Maidi bilang, bagi warga sekitar yang belum punya paspor dan ingin merasakan ke luar negeri. Bisa mencicipinya di tengah kota Madiun!
Puluhan event juga sudah disiapkan sang wali kota. Salah satu yang saya pasti berminat ikut: Madiun Lawu Challenge. Acara gowes menanjak dari Madiun ke Cemoro Sewu. Tapi event itu pun bukan sekadar untuk yang serius. Pak Maidi, beserta Ketua ISSI Madiun Faizal Rachman, memastikan masyarakat setempat juga menikmatinya.
Jadinya, event tiga hari itu punya tiga “target segmen” yang jelas. Pada Jumat 15 Juli, ada fun bike untuk warga, membuat masyarakat antusias dengan olahraga sepeda.
Sabtu 16 Juli, ada acara menantang untuk penghobi serius, menanjak ke Cemoro Sewu. Pada Minggunya, 17 Juli, ada balapan criterium untuk atlet mengejar prestasi.
Masyarakat senang, penghobi/turis senang, atlet senang. Trifecta! Pemkot juga menyiapkan rute sepeda, menghampiri tempat-tempat wisata atau kuliner di sekitar kota. Sepeda, tampaknya, akan jadi salah satu kunci pengembangan kota ini ke depan. Seperti layaknya kota-kota di negara-negara maju sekarang. Dampak positifnya bukan sekadar kesehatan, tapi juga tantangan kota modern masa depan, seperti polusi. “Sekarang, setiap Jumat, pegawai pemkot saya wajibkan naik sepeda ke kantor,” tegasnya.
Madiun, tampaknya, bakal siap melejit selepas tantangan pandemi ini. Di saat banyak daerah/wilayah mungkin struggle menuju normal, Madiun sudah siap takeoff berkat manajemen kota yang handal selama masa “sulit.” Buktinya, pertumbuhan kotanya di era pandemi merupakan yang terbaik di Jawa Timur, dan salah satu yang terbaik di Indonesia.
Penasaran rasanya melihat Madiun ke depan. Apalagi pengembangan dan kejutan yang akan dilakukan Pak Maidi dan jajarannya.
Tapi, dari semua hal seru yang beliau tunjukkan, tetap ada hal-hal kecil, atau ucapan simple, yang selalu membuat saya takjub terhadap seseorang. Momen itu terjadi saat kami berdiri di trotoar lebar di depan Balai Kota.
Pak Maidi menyebut dia bangga dengan warga Madiun, yang dia sebut bersikap begitu luar biasa, mau ikut berpartisipasi aktif membawa kota ini ke arah yang lebih maju.
Indikasinya sangat sederhana. Pak Maidi menunjuk lampu-lampu kecil yang terpasang di setiap pohon di trotoar. “Tidak ada satu pun lampu-lampu itu yang hilang atau dicuri,” pungkasnya. (*)