Korupsi Eks Bupati Tanah Bambu, KPK Telusuri Jual Beli Lahan untuk Pelabuhan

kpkk

Tersangka eks Bupati Tanah Bambu, Kalimantan Selatan, Mardani H. Maming ketika dilakukan upaya paksa penahanan oleh KPK, Jumat (29/7/2022) dini hari. Foto: Youtube KPK

INDOPOS.CO.ID – Tim penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus melakukan penyidikan perkara dugaan tindak pidana korupsi (TPK) suap dan penerimaan gratifikasi pemberian izin usaha pertambangan di Kabupaten Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan (Kalsel) dengan tersangka eks Bupati Mardani Maming (MM).

“Selasa (6/9/2022) bertempat di Gedung Merah Putih KPK, tim penyidik telah selesai memeriksa saksi, yakni Novri Omposunggu yang berprofesi wiraswasta,” ungkap Kepala Bagian Pemberitaan selaku Pelaksana Tugas (Plt) Juru Bicara KPK Ali Fikri, Rabu (7/9/2022).

Ali mengatakan, tim penyidik mengkonfirmasi kepada saksi antara lain pengetahuan saksi terkait dengan adanya jual beli lahan yang kemudian dijadikan sebagai pelabuhan untuk kebutuhan aktivitas pertambangan dari beberapa perusahaan pertambangan yang dikendalikan tersangka MM.

Untuk diketahui, Mardani Maming (MM) yang menjabat Bupati Tanah Bumbu periode tahun 2010- 2015 dan periode tahun 2016-2018, memiliki wewenang yang satu di antaranya memberikan persetujuan izin usaha pertambangan operasi dan produksi (IUP OP) di wilayah Kabupaten Tanah Bumbu, Kalsel.

Pada tahun 2010, salah satu pihak swasta yaitu Henry Soetio selaku pengendali PT. PCN (Prolindo Cipta Nusantara) bermaksud untuk memperoleh IUP OP milik PT. BKPL (Bangun Karya Pratama Lestari) seluas 370 hektare yang berlokasi di Kecamatan Angsana, Kabupaten Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan.

Agar proses pengajuan peralihan IUP OP bisa segera mendapatkan persetujuan MM, Henry Soetio diduga juga melakukan pendekatan dan meminta bantuan pada MM selaku bupati agar bisa memperlancar proses peralihan IUP OP dari PT. BKPL ke PT. PCN dimaksud.

Menanggapi keinginan Henry Soetio tersebut, diawal tahun 2011, MM diduga mempertemukan Henry Soetio dengan Raden Dwidjono Putrohadi Sutopo yang saat itu menjabat Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Tanah Bumbu.

Dalam pertemuan tersebut, MM diduga memerintahkan Raden Dwidjono Putrohadi Sutopo agar membantu dan memperlancar pengajuan IUP OP dari Henry Soetio.

Selanjutnya di bulan Juni 2011, Surat Keputusan MM selaku Bupati tentang IUP OP terkait peralihan dari PT. BKPL ke PT. PCN ditandatangani MM dimana diduga ada beberapa kelengkapan administrasi dokumen yang sengaja di-backdate (dibuat tanggal mundur) dan tanpa bubuhan paraf dari beberapa pejabat yang berwenang. Peralihan IUP OP dari PT. BKPL ke PT. PCN diduga melanggar ketentuan pasal 93 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 di mana pemegang IUP dan IUPK tidak boleh memindahkan IUP dan IUPK-nya kepada pihak lain.

Tidak hanya itu, MM juga meminta Henry Soetio agar mengajukan pengurusan perizinan pelabuhan untuk menunjang aktivitas operasional pertambangan dan diduga usaha pengelolaan pelabuhan dimonopoli PT. ATU (Angsana Terminal Utama) yang adalah perusahaan milik MM.

Diduga PT ATU dan beberapa perusahaan yang melakukan aktifitas pertambangan adalah perusahaan fiktif yang sengaja dibentuk MM untuk mengolah dan melakukan usaha pertambangan hingga membangun pelabuhan di Kabupaten Tanah Bumbu.

Adapun perusahan-perusahaan tersebut susunan direksi dan pemegang sahamnya masih berafiliasi dan dikelola pihak keluarga MM dengan kendali perusahaan tetap dilakukan oleh MM.

Di tahun 2012, PT. ATU mulai melaksanakan operasional usaha membangun pelabuhan dalam kurun waktu 2012-2014 dengan sumber uang seluruhnya dari Henry Soetio di mana pemberiannya melalui permodalan dan pembiayaan operasional PT. ATU.

Diduga terjadi beberapa kali pemberian sejumlah uang dari Henry Soetio pada MM melalui beberapa perantaraan orang kepercayaannya dan atau beberapa perusahaan yang terafiliasi dengan MM yang kemudian dalam aktivitasnya dibungkus dalam formalisme perjanjian kerja sama underlying guna memayungi adanya dugaan aliran uang dari PT. PCN melalui beberapa perusahaan yang terafiliasi dengan MM tersebut. Uang diduga diterima dalam bentuk tunai maupun transfer rekening dengan jumlah sekitar RP104, 3 miliar dalam kurun waktu 2014-2020.

Atas perbuatannya tersebut tersangka disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. (dam)

Exit mobile version