Aturan Pasar Karbon dalam RUU PPSK Perlu Direvisi

Aturan Pasar Karbon dalam RUU PPSK Perlu Direvisi - pasar karbon - www.indopos.co.id

Ilustrasi - Pasar karbon. Foto: pixabay

INDOPOS.CO.ID – Pembahasan pasar karbon dalam Rancangan Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (RUU PPSK) tengah memasuki masa yang krusial.

Hal ini terkait dengan desain infrastruktur bursa karbon, hingga sistem pengawasan oleh regulator yang relevan. Secara umum urgensi hadirnya pasar karbon sejalan dengan upaya pemerintah tahun 2016 saat menyampaikan nationally determined contribution (NDC) sebagai komitmen terhadap program penurunan emisi karbon global.

Melalui NDC tersebut, Pemerintah Indonesia bertekad untuk menurunkan emisi karbon sebesar 29% (dengan usaha sendiri) dan sebesar 41% (dengan bantuan internasional) pada tahun 2030.

Sementara kebutuhan biaya untuk mitigasi perubahan iklim secara akumulatif selama 2020-2030 mencapai Rp3.779 triliun atau Rp343,6 triliun per tahun. Angka tersebut tidak mungkin seluruhnya ditutup dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Kehadiran pasar karbon diharapkan menjadi solusi untuk menutup kebutuhan pendanaan yang besar dari sisi pelaku usaha.

Mengingat urgensi kehadiran pasar karbon, maka pembahasan pasar karbon dalam RUU PPSK perlu mengakomodir beberapa perbaikan. Pasal 26 misalnya menyebut bahwa ketentuan lebih lanjut terkait pasar karbon akan diatur oleh aturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Menanggapi hal tersebut, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira mengatakan sebaiknya Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) dilibatkan sebagai regulator utama pasar karbon, karena karbon secara umum didefinisikan sebagai komoditi ketimbang efek.

“Sementara ruang pengaturan OJK lebih pas terkait produk pembiayaan dari hasil perdagangan karbon, sesuai fungsi jasa keuangan,” kata Bhima, Selasa (22/11/2022).

Bhima menambahkan peluang kolaborasi antara Bappebti dan OJK nantinya dapat berbentuk skema pembiayaan lembaga keuangan, di mana Bappebti yang mengatur perdagangan komoditi karbon, sementara OJK yang akan memfasilitasi perusahaan yang terlibat dalam perdagangan karbon dengan pembiayaan lembaga keuangan.

“Contohnya, ada perusahaan yang memiliki sertifikat penurunan emisi, dapat menjaminkan sertifikatnya di perbankan. Komoditi karbon sebagai agunan akan menjadikan perusahaan yang memiliki komitmen terhadap lingkungan memperoleh lebih banyak peluang pendanaan baru,” ungkap Bhima.

Ketentuan berikutnya yang perlu di perbaiki, kata Bhima, adalah Pasal 5A ayat 8 yang mengatur tentang perdagangan sekunder karbon dalam wewenang OJK.

“Selain revisi pada Pasal 26, kami mendesak Pasal 5A ayat 8 direvisi dengan jalan tengah kolaborasi antara regulator yakni OJK dan Bappebti untuk mengatur perdagangan sekunder sertifikat izin emisi dan sertifikat penurunan emisi di bursa karbon. Sebagian besar pemain bursa komoditi yang existing sudah memiliki infrastruktur memadai untuk menjalankan bursa karbon, sehingga dirasa tidak perlu mempersiapkan infrastruktur baru di bawah wewenang OJK. Kami khawatir masa tunggu yang lama akan menyebabkan bursa karbon luar negeri lebih menarik, padahal Indonesia memiliki potensi karbon yang luar biasa,” tutup Bhima. (dam)

Exit mobile version