Reforma Agraria sebagai Strategi Kementerian ATR/BPN dalam Menghadapi Ancaman Krisis Pangan

hadi

Menteri ATR/Kepala BPN, Hadi Tjahjanto saat menerima audiensi dari Perwakilan Organisasi Pangan dan Pertanian (Food and Agriculture Organization/FAO), di Ruang Rapat Menteri ATR/Kepala BPN. Foto: Istimewa

INDOPOS.CO.ID – Dewasa ini, isu krisis pangan menjadi momok yang mengkhawatirkan. Untuk itu, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) terus berupaya mendukung strategi pemerintah dalam menghadapi krisis pangan. Sebagaimana disampaikan oleh Menteri ATR/Kepala BPN, Hadi Tjahjanto saat menerima audiensi dari Perwakilan Organisasi Pangan dan Pertanian (Food and Agriculture Organization/FAO), di Ruang Rapat Menteri ATR/Kepala BPN, pada Selasa (29/11/2022).

“Krisis pangan adalah konsen kami, yang mana itu juga sesuai dengan permintaan presiden. Jadi, kami juga mempunyai rencana-rencana besar untuk hal tersebut,” ujar Hadi Tjahjanto.

Salah satu cara yang dilakukan terkait rencana besar tersebut, yaitu dengan terus melanjutkan program Reforma Agraria. Seperti diketahui, Kementerian ATR/BPN telah melakukan penataan aset dalam skema Reforma Agraria melalui legalisasi aset dan redistribusi tanah, di mana masing-masing skema memiliki target sejumlah 4,5 juta hektare.

Di dalam skema tersebut, salah satu Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) dapat dimanfaatkan dalam menghadapi krisis pangan, yakni tanah bersumber dari pelepasan kawasan hutan yang tidak produktif, yang nantinya tanah tersebut akan diredistribusi kepada masyarakat. Tentunya dalam hal ini Kementerian ATR/BPN harus bekerja sama dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

Namun, Kementerian ATR/BPN tidak serta-merta memberikan aset tanpa adanya akses. Oleh sebab itu, pemberian aset akan dibarengi dengan pemberian pemberdayaan. “Salah satunya rencana saya untuk terus melanjutkan pemberian aset dan akses terhadap masyarakat termasuk masyarakat adat,” ungkap Menteri ATR/Kepala BPN.

“Skemanya bagaimana? Setelah mendapat redistribusi, kita berikan sertipikat, lalu kita buatkan satu koperasi, kita buatkan pelatihan. Kita juga carikan off taker untuk membeli semua hasil dari petani tersebut. Sehingga, petani diberi kepastian produknya akan terjual dan ekonomi akan meningkat. Jadi tujuan presiden meningkatkan pertanian, kemudian untuk menghindari krisis pangan, itu bisa tercapai karena hasilnya akan optimal,” terang Hadi Tjahjanto.

Dari penjelasan Hadi Tjahjanto, Kepala Perwakilan FAO, Rajendra Aryal merespons bahwa Indonesia memang merupakan negara terpenting bagi FAO. Menurutnya, hal ini adalah kesempatan kerja sama yang baik antara Kementerian ATR/BPN dan FAO sebagai langkah menghadapi krisis pangan. “Ini adalah kesempatan yang baik, kita tingkatkan kerja sama, kita lakukan lebih lagi untuk terus menghadapi krisis pangan,” tuturnya.

Wakil Kepala Perwakilan FAO, Ageng Hertanto berharap, kerja sama dengan Kementerian ATR/BPN membuat lahan dimanfaatkan secara optimal dan bagaimana pengelolaan lahan bisa menjamin pelepasan karbon akan melambat. “Kami berharap kerja sama dengan Kementerian ATR/BPN untuk menciptakan model yang membuat lahan dimanfaatkan secara optimal, dan tentunya dengan teknologi yang ramah terhadap perubahan iklim. Kita explore bersama kerja sama yang seperti itu,” imbuh Ageng Hentanto.

Turut mendampingi Menteri ATR/Kepala BPN, Plt. Direktur Jenderal Penataan Agraria, Andi Tenrisau; Direktur Jenderal Pendaftaran Hak dan Pendaftaran Tanah, Suyus Windayana; serta Tenaga Ahli Menteri ATR/Kepala BPN Bidang Hukum dan Masyarakat Adat, M. Adli Abdullah. (srv)

Exit mobile version