UU Ciptaker Tunjuk KLHK, Pengamat UI: Ijin Amdal tak Bisa Diintervensi

pengelolaan-tambang

Ilustrasi pengelolaan tambang (Dokumen INDOPOS.CO.ID)

INDOPOS.CO.ID – Undang-undang (UU) Cipta Kerja (Ciptaker) mengatur terkait proses persetujuan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (Amdal) dan Ijin Lingkungan. Hal itu menjadi kewenangan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan tak bisa diintervensi oleh pihak manapun.

Pernyataan tersebut diungkapkan Pengamat Kebijakan Publik dari Universitas Indonesia (UI) Agus Pambagio di Jakarta, Sabtu (8/4/2023). Ia menuturkan, terkait proses tersebut, para pihak yang berkepentingan hanya bisa memberikan masukan. “Dalam proses persetujuan Amdal, kewenangan mengeluarkan persetujuan Amdal sepenuhnya ada di Kementerian KLHK,” katanya.

Terkait proses tahapan Amdal yang sedang diajukan untuk Terminal LNG di Sidakarya, Bali, menurut dia, harus dilihat terlebih dahulu alasannya. Seperti faktor keamanan atau ada hal lain, misalnya ada faktor persaingan bisnis. “Harus dilihat dulu apakah memang secara bisnis ada pesaingnya, kalau ada urusan kepentingan seperti itu ya beda lagi, saya ngga mau komentar,” katanya.

Karena itu, lanjut dia, harus dikaji dengan mendalam. Dengan catatan apakah ada persoalan dalam bidang lingkungan bukan ada conflict of interest/ kepentingan.

Ia mengatakan, pihak lain di luar Kementerian KLHK hanya bisa memberikan masukan bukan intervensi. Dalam hal proses persetujuan Amdal, biasanya ada berbagai masukan baik itu dari berbagai pihak yang berkepentingan termasuk dari LSM.

Jika seluruh syarat persetujuan sudah dilengkapi dan disetujui, masih ujar dia, maka KLHK melalui sidang Amdal di KLHK yang menentukan keluarnya proses persetujuan Amdal. “Amdal itu akan keluar setelah seluruh syarat dipenuhi dan sudah ada sidang di KLHK. Kalau belum ada, berarti masih berproses,” ujarnya.

Dia juga menyoroti ruwetnya proses persetujuan Amdal dan memakan waktu lama akibat adanya UU Ciptaker. Hingga saat ini ada ribuan permohonan persetujuan Amdal antre untuk diproses di KLHK.

“Ini bisa berdampak kepada risiko terhambatnya realisasi investasi di berbagai sektor. Utamanya adalan sektor bisnis yang memiliki risiko tinggi yang memerlukan persetujuan Amdal dan ijin lingkungan, seperti bidang Migas dan Energi,” ungkapnya.

Ia menyebut, lambannya proses Amdal di KLHK lantaran adanya kekurangan SDM. Untuk itu, masalah tersebut harus dibenahi. “Ketika di tarik ke pusat, SDM tidak ditambah, akibatnya terjadi deadlock,” ucapnya.

Menurut dia, adanya UU Ciptaker yang baru saja disahkan DPR menjadi percuma dan sia-sia. Pasalnya, pemerintah dalam implementasinya tidak menyediakan anggaran, untuk mengimplementasikan UU Ciptaker.

“Ciptaker kan dibuat untuk menyederhanakan perijinan, mempermudah dan mempercepat proses. Tapi masa gratis, pasti ada costnya, dan juga harus disiapkan untuk dashboard. Sehingga terlihat semua di loket, kalau ngga ada anggaran terus gimana,” katanya.

Ia menambahkan, semestinya sistem dikembalikan ke pemerintah daerah. Apabila sistem penataan tata ulang sudah terbentuk. Selama ini ijin yang sebelumnya ada di 37 Provinsi, satu sama lain berbeda-beda, sehingga tidak standar.

“Hal ini yang membuat perizinan ditata untuk dilakukan standarisasi. Ketika sudah dibereskan di Jakarta, sudah terbentuk standar dan SOP nya akan dikembalikan ke daerah, termasuk sistem pengawasannya,” ujarnya.(nas)

Exit mobile version