Persatuan Pengacara Pajak Indonesia Desak Kejagung Dalami Eksepsi JGP

Persatuan Pengacara Pajak Indonesia Desak Kejagung Dalami Eksepsi JGP - Petrus Loyani - www.indopos.co.id

Ketua Umum Perjakin, Petrus Loyani. (Dokumen Perjakin)

INDOPOS.CO.ID – Ketua Umum Persatuan Pengacara Perpajakan Indonesia (Perjakin), Petrus Loyani menyatakan bahwa Kejaksaan Agung perlu mempelajari dengan seksama eksepsi atau nota pembelaan yang diajukan oleh mantan Menteri Komunikasi dan Informatika, Johnny Gerard Plate, yang diduga terlibat dalam skandal kasus korupsi penyediaan Base Transceiver Station (BTS) 4G di daerah terdepan, terpencil, dan tertinggal (3T).

“Berdasarkan diskripsi opini ekonom Anthony Budiawan diatas, kami mendesak Kejaksaan Agung mendalami eksepsi JGP itu yang dikatakan “mengandung arti sangat mendalam” Dari narasi opini Anthony Budiawan di atas dapat saya simpulkan bahwa Anthony Budiawan mencurigai korupsi anggaran proyek BTS 4G Bakti by design oleh Presiden sebagaimana terlihat dari petunjuk perubahan anggaran proyek BTS 4G Bakti yang dilakukan secara ilegal,” katanya kepada INDOPOS.CO.ID, Selasa (18/7/2023).

Menurutnya, Pakar Ekonomi Anthony Budiawan mencurigai alasan tersebut karena dalam eksepsinya, Johnny Gerard Plate menyatakan bahwa proyek BTS 4G Bakti adalah “arahan Presiden Jokowi”.

“Perlu mempertanyakan frasa ini dan mencermatinya, mengapa harus ada arahan dari Presiden? Apakah hal ini disebabkan karena proyek tersebut belum memiliki anggaran? Jika sudah ada anggaran dalam APBN 2020, seharusnya Presiden tidak perlu memberikan arahan lagi, dan Kominfo tinggal melaksanakan proyek tersebut,” ujarnya.

Petrus Loyani yang dikenal sebagai salah satu Pengacara senior di Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) ini menjelaskan analisa kecurigaan dalam eksepsi Johnny Gerard Plate yang dikutip dari pakar ekonomi Anthony Budiawan.

“Pengendalian dan pertanggungjawaban APBN berada di tangan Presiden, yang harus diatur dalam Undang-Undang (UU). Perubahan materi yang substansial berdasarkan prinsip hirarki peraturan perundang-undangan tidak dapat dilakukan melalui Peraturan Presiden (Perpres), tetapi harus melalui UU. Pembengkakan anggaran proyek BTS 4G Bakti dari Rp 3,17 triliun menjadi Rp 10,9 triliun tidak memiliki dasar hukum dan secara bersamaan melanggar prinsip kepastian hukum dan akuntabilitas publik,” jelasnya.

Dia juga menambahkan, perubahan anggaran proyek tanpa dasar hukum dari perspektif hukum tata usaha negara jelas merupakan tindakan melawan hukum yang dikualifikasikan sebagai delik penyalahgunaan wewenang (detournement de pouvoir) yang juga merupakan pelanggaran terhadap prinsip tata kelola yang baik (good governance).

“Dengan demikian, dalam kasus tindak pidana korupsi anggaran BTS 4G Bakti, diduga terdapat dua aspek kriminal. Pertama, tindak pidana korupsi itu sendiri, dan kedua, perbuatan melawan hukum terkait perubahan anggaran proyek,” pungkasnya. (fer)

Exit mobile version