INDOPOS.CO.ID – Hak Sertifikat tanah di atas perairan laut harus ditinjau ulang oleh Pemerintah. Sebab, pemberian sertifikat tanah di atas perairan adalah tindakan yang mengancam kedaulatan laut Indonesia.
Pernyataan tersebut diungkapkan Ketua Bidang Maritim dan Agraria, Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PB HMI) Abdul Rizal di Jakarta, Selasa (29/8/2023).
Ia mengatakan, pemerintah semestinya memperhatikan peraturan yang berlaku. Terkait Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA Summit) 2023, menurutnya, tidak berpedoman pada undang-undang (UU) 6 Tahun 2023. Bahwa, pemberian hak atas tanah di atas air bagi kegiatan masyarakat baik untuk kepentingan berusaha, non berusaha maupun kegiatan strategis pemerintah/ pemerintah daerah.
“Bahwa pemberian hak atas tanah di perairan pesisir harus berdasarkan perizinan dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP),” ungkapnya.
Selain itu, dikatakan dia, penggunaan laut yang secara konotasi bukan merupakan “tanah” tidak masuk dalam rezim pengaturan yang dapat dikuasai. Penguasaan melalui Hak Atas tanah merupakan hak kebendaan yang dapat beralih, dialihkan bahkan dapat dijaminkan utang dan dibebankan hak tanggungan.
“Ini untuk menghindari pengalihan tanggung jawab penguasaan negara atas pengelolaan atas perairan pesisir dan pulau-pulau kecil kepada pihak swasta atau siapapun,” katanya.
“Masyarakat pesisir dan laut membutuhkan kepastian hukum dan kepastian ruang mengenai lokasi tempat tinggalnya di laut, agar mereka merasa ada status hukum dan perlindungan hukum dari kemungkinan ancaman pengusiran oleh pihak lain,” imbuhnya.
Berdasarkan hal tersebut, masih ujar dia, PB HMI mendorong Presiden untuk tidak terlibat dalam pemberian sertifikat hak tanah di atas perairan laut yang jelas bertentangan dengan aturan. Karena itu dapat menimbulkan persoalan di kemudian hari.
“Kami juga meminta penghapusan dan pembatalan agenda legalisasi permukiman di atas air, pulau-pulau kecil dan pulau terluar,” katanya. (nas)