Kunjungi Vihara Berusia Setengah Abad, Anies Takjub dan Tekankan Persatuan

anies

Calon Presiden nomor urut 1, Anies Baswedan menyempatkan diri menyapa masyarakat Tionghoa di Vihara Dewi Welas Asih, Cirebon, Jawa Barat, Sabtu (9/12/2023). (foto : TimNas AMIN)

INDOPOS.CO.ID – Dalam runutan agenda kampanye di Cirebon, Jawa Barat, Calon Presiden nomor urut 1, Anies Baswedan menyempatkan diri menyapa masyarakat Tionghoa di Vihara Dewi Welas Asih, Sabtu (9/12/2023).

“Kami merasa sebuah kehormatan bisa dapat kesempatan untuk diantar ke Vihara yang usianya sudah amat sangat panjang ini,” kata Anies dalam sambutannya.

Dirinya mengaku takjub kala melihat vihara yang telah dibangun sejak tahun 1559 itu masih berada dalam kondisi yang baik hingga saat ini.

“Ini menggambarkan soliditas untuk menjaga, merawat dan mengembangkan, semoga ini bertahan untuk masa yang akan datang,” tukasnya.

Sejenak, mantan Gubernur DKI Jakarta itu menceritakan sebuah kenangan yang cukup pahit kala dirinya mendapati sebuah vihara yang juga cukup tua di Ibu Kota yang mengalami kebakaran.

“Saat ini dalam proses recovery mudah-mudahan nanti segera tuntas. Yang di sini juga semoga aman terus ya,” imbuh Anies.

“Seperti saat saya mampir ke Keraton, bangunan ini membawa sejarah panjang. Itu membawa cerita bahwa kisah tidak bisa diganti oleh teknologi, karena umur tidak bisa digantikan,” jelasnya.

Menurutnya, narasi bangunan bersejarah itu tak akan mudah sirna dan akan dicerita dari waktu ke waktu hingga menjadi sebuah sejarah di Kota Cirebon.

Dalam pertemuan itu, Anies juga menekankan bahwa dirinya akan menciptakan persatuan yang sesungguhnya, bukan formalitas belaka.

“Kami ingin terus menjaga agar persatuan di Indonesia bisa terjaga. Dan persatuan ini harus yang sesungguhnya, bukan persatuan ‘kosmetik’ ataupin formalitas,” tegasnya.

Persatuan yang sejati itu, kata Anies, harus diwujudkan dengan rasa keadilan. Sebab jika tidak, akan terjadi ketimpangan yang justru menimbulkan suasana tak tenang.

Anies pun lantas bertekad akan membawa perubahan dengan memberi kesempatan yang sama kepada setiap masyarakat. Bahkan, ia juga menekankan untuk tak lagi menyebut kelompok tertentu sebagai ‘minoritas’.

“Apa pun perbedaannya, cukup kita katakan sebagai golongan. Sebab golongan tidak menyebutkan besarannya, sehingga tidak akan menimbulkan kesan ketimpangan,” tutupnya. (dil)

Exit mobile version