Waspadai Meningkatnya Hoaks dan Ujaran Kebencian Jika Pilpres 2 Putaran

Momen-capres

Momen para capres usai melaksanakan debat perdana pada 12 Desember 2023 di Jakarta. Foto: Instagram Ganjar Pranowo

INDOPOS.CO.ID – Masyarakat Antifitnah Indonesia (Mafindo) mengkhawatirkan muncul hoaks menggunakan isu suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) bila pemilihan presiden (Pilpres) 2024 terjadi dua putaran. Karenanya masyarakat harus cermat ketika mendapat informasi.

Ketua Presidium Mafindo Septiaji Eko Nugroho mengatakan, konten hoaks politik itu masih didominasi saling serang antarpendukung kandidat. Sedangkan tingkat polarisasi dengan isu suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) menjelang Pemilu 2024 tidak setinggi dibandingkan Pemilu 2019.

“Namun, jika pilpres masuk ke putaran kedua, perlu diwaspadai peningkatan hoaks dan ujaran kebencian yang menggunakan isu SARA,” kata Septiaji dalam keterangannya diterima di Jakarta, Sabtu (3/2/2024).

Topik hoaks paling banyak ditemukan adalah dukungan/pengakuan kepada kandidat (33.1 persen), diikuti isu korupsi (12.8 persen) dan penolakan terhadap kandidat (10.7 persen).

Selain itu, karakter atau gaya hidup negatif kandidat (7.3 persen). Sedangkan isu kecurangan pemilu sebesar 5 persen dan isu SARA 3.9 persen.

“Isu kecurangan pemilu harus disikapi dengan sangat serius oleh penyelenggara pemilu. Karena isu ini yang diprediksi meningkat tajam setelah hari-H (14 Februari 2024), dan berpotensi membuat orang menolak hasil pemilu dan memantik keonaran,” ujar Septiaji.

Menjelang pemungutan suara dalam Pemilu 2024, konten yang dibuat dengan teknologi kecerdasan buatan
(AI) pun sudah muncul, seperti video deepfake pidato Presiden Jokowi dengan bahasa Mandarin, maupun
rekaman suara Anies Baswedan dan Surya Paloh yang dibuat dengan AI.

“Kami sudah menemukan beberapa konten hoaks yang mendelegitimasi penyelenggaraan pemilu seperti hoaks mobilisasi ODGJ (orang dengan gangguan jiwa), hoaks sistem teknologi informasi (TI) KPU, dan isu keberpihakan penyelenggara pemilu,” beber Septiaji.

Upaya menangani hoaks tidak cukup dengan melakukan fact checking atau pemeriksaan fakta. Dia memandang
sangat penting upaya pencegahan dalam bentuk vaksinasi informasi atau prebunking. Caranya menyajikan konten edukasi publik, sehingga memiliki kekebalan atau imun kuat saat terpapar hoaks. (dan)

Exit mobile version