Kekhawatiran Reformasi Mati, Civitas Academica Universitas Trisakti Bersuara

Kekhawatiran Reformasi Mati, Civitas Academica Universitas Trisakti Bersuara - trisakti - www.indopos.co.id

Civitas Academica Universitas Trisakti terdiri dari guru besar, dosen, mahasiswa dan alumni menyerukan maklumat di depan Tugu Reformasi 12 Mei. Foto: Indopos.co.id / Dhika Alam Noor

INDOPOS.CO.ID – Kelompok civitas academica Universitas Trisakti terdiri dari dosen, guru besar, mahasiswa dan alumni bersuara untuk menyatakan kekhawatiran atas matinya reformasi dan lahirnya tirani di Indonesia. Sikap tersebut ditunjukkan dalam maklumat bertajuk Trisakti Melawan Tirani.

“Kami menentang berbagai pelanggaran etika kehidupan berbangsa, yang diperlihatkan oleh penyelenggara negara,” kata Presiden Mahasiswa Universitas Trisakti Vladima Insan Mardika di depan Tugu Reformasi 12 Mei, depan Gedung Kampus Trisakti, Grogol, Jakarta Barat, Jumat (9/2/2024).

Pelanggaran etika itu bermula terjadi oleh Mahkamah Konstitusi dan Presiden, diikuti oleh jajaran pejabat Istana, Kementerian dan Lembaga hingga penyelenggara Pemilu, KPU.

“Kami menolak, personifikasi dan personalisasi kewajiban negara atas hak-hak rakyat untuk tujuan partisan elektoral,” ujar Vladima Insan.

Bantuan sosial yang sejatinya merupakan hak-hak rakyat, ternyata dimanipulasi sebagai hadiah atau pemberian pribadi pejabat negara. Diduga ada kaitannya dengan paslon tertentu. “(Pemberian) pribadi-pribadi pejabat pendukung paslon tertentu,” ucap Vladima Insan.

Selain itu, civitas academica Universitas Trisakti menolak pemberantasan korupsi bermotif dan bertujuan politik partisan. Jika negara serius, maka penanganan korupsi tidak berhenti ketika pejabat yang diperiksa justru menjadi juru kampanye paslon tertentu yang didukung penguasa.

“Ini merusak sendi-sendi hukum dan demokrasi,” kritiknya.

Di sisi lain, mereka mendukung suara gerakan keprihatinan guru besar, beserta civitas academica dari berbagai universitas atas kemunduran demokrasi dan mendukung seruan kembali ke jalan demokrasi yang benar.

“Menurut kami, Pemilu 2024 menjadi pemilu pertama yang tidak fair, tidak bebas, dan tidak demokratis semenjak masa reformasi,” nilai Vladima Insan.

“Terlalu banyak ketidaknetralan pejabat dan aparat negara, termasuk penyalahgunaan fasilitas dan sumber daya negara lainnya hanya untuk kepentingan partisan paslon tertentu,” sambungnya. (dan)

Exit mobile version