Tantangan Para Tim Pendamping Keluarga Turunkan Angka Stunting

bkkbn

Patricia Sri Maryan, kader Keluarga Berencana (KB) (dua dari kiri), tim TPK Swasti Prana Wijayawati Santoso (dua kanan), Bidan Dewi Krismayanti (paling kanan) saat acara Talkshow BKKBN "TPK Garda Terdepan Penurunan Stunting di Indonesia" di Kimaya Hotel Sudirman, Jum'at, (8/3/2024). Foto : Humas BKKBN for Indopos.co.id

INDOPOS.CO.ID – Mengubah pola pikir menjadi salah satu tantangan terberat bagi para Tim Pendamping Keluarga (TPK) dalam penurunan angka stunting. Seperti yang tertuang dalam Peraturan Presiden No 72/2021, Indonesia menargetkan angka stunting harus turun hingga 14 persen 2024.

“Hampir sering setiap kami turun ke lapangan, dan memberikan semacam saran dan masukan, masyarakat yang kami temui itu selalu jawabannya semua sudah tahu, dan sudah paham, tapi anak mereka malahan penderita stunting. Sangat sulit kasih masukan ke orang yang setiap disampaikan informasi baru, jawabannya sudah tahu, terkadang mereka seperti lebih tahu,” jelas Patricia Sri Maryan, kader Kelurga Berencana (KB), Pringgokusuman, Gedongtengen, Jogjakarta, saat acara Talkshow BKKBN “TPK Garda Terdepan Penurunan Stunting di Indonesia” di Kimaya Hotel Sudirman, Jumat, (8/3/2024).

Selain sulit nya mengubah pola pikir, tim TPK lainnya Swasti Prana Wijayawati Santoso menyampaikan komunikasi yang terbangun sering satu arah. Kesehatan anak stunting seperti menjadi kewajiban petugas, sehingga keluarga atau orang tua dari anak stunting merasa tidak memiliki keharusan mengupayakan kesehatan dan tumbuh kembang anak.

“Banyak kasus dari yang kami temui dilapangan kurang nya pemahaman orang tua untuk memberikan asupan yang ideal, dan pola asuh yang salah. Beberapa diantaranya karena kehamilan yang tidak diinginkan, bahkan anak belum taman SMP tapi terpaksa harus melahirkan anak,” urai Swasti.

Yang tidak kalah menggelitik cerita dari Bidan Dewi Krismayanti, yang juga merupakan tim pendamping keluarga penurunan stunting. Ketika turun ke lapangan mengunjungi anak yang mengalami kondisi fisik stunting memiliki pengalaman yang ironi.

“Satu cerita yang buat kami seperti agak tercengang-cengang, karena ketika kami menemui mereka, anak nya diserahkan untuk kami cek, orang tua malah sibuk mau game. Lalu anak nya di titipkan ke kami, karena memang dari usia ibu nya tadi belum siap jadi ibu, jadi untuk mengurus anak nya pun ogah-ogahan. Jangankan memikirkan nilai gizi bagi anak nya, si ibu yang terlalu muda tadi untuk mengurus diri sendiri pun masih keteteran,” cerita Bidan Dewi.

Berbagai cerita dan tantangan yang ditemui TPK dari Jogjakarta itu memang dialami hampir semua TPK yang tersebar di Indonesia. Pasalnya penurunan stunting tidak mungkin dilakukan ketika anak sudah lahir. Data angka stunting 2022 menunjukan 21.6 persen, ditargetkan menurun hingga 14 persen 2024 ini. Tentu anak yang sudah terlanjur lahir kesembuhan untuk menurun tidak akan siknifikan, terlebih ketika penanganan sudah lebih dari 1000 hari kelahiran baru diinterpensi mulai dari gizi hinggal pola asuhnya.

“Pencegahan stunting itu memang tidak pada pasca kelahiran, tapi lebih dari pada langkah prepentif sebelum menikah, menikah dan merencanakan kehamilan. Karena pengalaman kami selama ini, kalau sudah lahir sangat kecil kemungkinan anak itu kembali normal, tapi tetap ada peluang nya,” tutup bidan Dewi. (ney)

Exit mobile version