Pengamat: Dukungan 50 Tokoh Bisa Jadi Pemberi Data Penguat Kecurangan Pemilu

Gedung-Kura-Kura-DPR-RI

Gedung Kura-Kura DPR RI, Senayan, Jakarta. Foto: Dok DPR RI

INDOPOS.CO.ID – Pengamat politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta (UIN Jakarta) Syarif Hidayatullah Jakarta, A Bakir Ihsan berpandangan, desakan 50 tokoh dan aktivis untuk menggulirkan hak angket kecurangan pemilu di DPR merupakan bentuk perhatian demi menjaga demokrasi di Indonesia.

“Ya, dorongan dari kelompok masyarakat untuk pemilu yang bersih merupakan bentuk kepedulian terhadap kualitas demokrasi,” kata Bakir melalui gawai, Jakarta, Selasa (12/3/2024).

Menurutnya, dorongan tersebut harus didukung oleh fakta atau data yang kuat. Sehingga memperkuat DPR untuk menjalankan hak angketnya.

“Fakta dan data bisa dimiliki oleh masyarakat, yang mengalaminya atau kelompok masyarakat yang punya concern terhadap masalah kecurangan Pemilu dan menyerahkannya pada DPR sebagai bahan penguat data untuk angket,” ujar Bakir.

Mengingat pengguliran hak angket bisa tetap berjalan, seiring dilakukannya pengumpulan bukti dugaan kecurangan dalam Pemilu 2024.

“Jadi selain dukungan moral, kelompok masyarakat juga bisa menjadi pemberi data penguat terjadinya pelanggaran atau kecurangan Pemilu,” ucap Bakir.

Sebanyak 50 tokoh masyarakat, dari aktivis antikorupsi hingga mantan petinggi pegawai KPK menyurati para pimpinan partai politik pengusung paslon nomor urut 1 dan 3 untuk mengajukan hak angket dugaan kecurangan pada Pemilu 2024.

Ketum parpol yang dimaksud ialah Ketua Umum PDIP Megawati Soekarno Putri, Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh, Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar, Presiden PKS Ahmad Syaikhu dan Ketua Umum PPP Muhammad Mardiono.

Sementara para tokoh itu di antaranya Usman Hamid dari Amnesty International Indonesia, akademisi STHI Jentera Bivitri Susanti, akademisi Universitas Andalas Feri Amsari, akademisi UGM Zainal Arifin Mochtar, dan Pendiri Watchdoc Dandhy Laksono, serta pendiri Lokataru Foundation Haris Azhar.

Selain itu, tokoh yang pernah menjabat di KPK, seperti Novel Baswedan, Abraham Samad, Abdullah Hehamahua, serta Saut Situmorang. Surat tersebut diterbitkan pada 8 Maret 2024. (dan)

Exit mobile version