Yemelia Ambu Badui: Kerukunan Beragama Suku Badui Patut Ditiru

Yemelia Ambu Badui: Kerukunan Beragama Suku Badui Patut Ditiru - badui - www.indopos.co.id

Yemelia 'Ambu Badui' bersama warga suku Badui Dalam.

INDOPOS.CO.ID – Kerukunan umat beragama warga suku Badui yang bermukim di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Banten, patut ditiru.

Pasalnya, warga suku Badui tidak pernah mempermasalahkan agama yang dianut oleh sanak saudara mereka atau orang luar yang berkunjung ke Badui. Bahkan, ketika umat muslim menunaikan ibadah sholat saat berkunjung ke pemukiman Badui Dalam dan Badui Luar yang menganut agama Sunda Wiwitan itu pun difasilitasi untuk tempat sholat oleh warga suku Badui Dalam.

Hal ini diungkapkan oleh Yemelia, mantan kepala Bidang (Kabid) Budaya Dinas Pariwisata Provinsi Banten yang diangkat sebagai ‘Ambu’ atau ibu oleh warga suku Badui.

“Justru kita harus banyak belajar dari suku Badui tentang kerukunan umat beragama. Tidak pernah terjadi perselisihan tentang agama di suku Badui, meski ada sanak saudaranya yang pindah memeluk agama lain, namun tali silaturahmi diantara mereka tetap berjalan normal,” terang Yemelia kepada indopos, Sabtu (10/12/2022).

Yamelia menjelaskan, bagi warga suku Badui yang pindah agama dan memeluk agama lain tetap diakui sebagai saudara, meski dengan konsekwensi harus keluar dari kampung Badui .

“Badui Dalam dan Luar itu kan satu Komunitas. Badui Luar yang ikat kepalanya batik biru baju hitam. Sedangkan Badui Dalam Ikat kepalanya putih dan baju Putih. Badui Luar dan Badui Dalam dipimpin oleh tokoh Adat, Yaitu Jaro Tanghungan 12 bernama Abah Saidi,” terang Yemelia.

Ia menambahkan, berbeda denga Badui Dalam yang berbusana putih, mereka sama sekali tidak boleh naik kendaraan dan mereka hidup di tiga kampung. Yaitu Kampung Cikitawarna, Cibeo dan Cikeusik,dimana masing masing Kampung dipimpin oleh Pu’un. “Kalau badui Luar jumlah peduduknya hampir 12 ribu KK (Kepala Keluarga) lebih banyak daru Baduy Dalam,” cetusnya.

“Konsekwensi bagi warga Suku Badui, baik Badui Dalam maupun Badui luar yang memeluk agama lain selain Sunda Wiwitan, mereka harus keluar dari kampung Badui. Namun demikin, tali silaturahmi diantara mereka tetap berjalan dan tidak ada larangan bagi warga suku Badui yang sudah keluar dan tinggal diluar kawasan Badui tidak diperbolehkan lagi berkunjung ke Badui,” tutur Yemelia.

Menurut Yemelia, alasan kenapa warga suku Badui yang pindah kepercayan dengan menganut agama lain harus keluar dari kampung Badui, karena di Badui mereka masih memegang teguh adat dan budaya mereka. ”Di warga suku Badui itu tidak ada persaingan usaha dan mereka hidup sederhana dari hasil bercocok tanam dan berburu,” cetusnya.

“Sama seperti kebanyakan suku-suku lain di Indonesia, orang-orang Badui Dalam atau Kanekes itu menganut agama kepercayaan nenek moyang. Mereka memuja kekuatan alam dan juga nenek moyang yang terdahulu yang dikenal dengan ajaran Sunda Wiwitan,” sambungnya.

Menurut Yemelia, rata rata warga Suku Badui yang pindah keyakinan ke agama lain adalah berasal dari suku Badui Luar, dan jarang terjadi berasal dari Suku Badui Dalam.”Rata rata yang pindah agama itu adalah berasal dari Badui Luar,” imbuhnya.

Lebih jauh Yemelia menjelaskan, aktivitas masyarakat Badui tidak sama dengan masyakat lain, karena masyarakat Badui hanya akan keluar secara bersama sama dari pemukinan Badui jika ada event atau acara yang diundang oleh pemerintah, baik dari pemerintahan pusat, provinsi, kabupaten /kota, seperti ritual Seba Badui untuk menyerahkan ‘upeti’ hasil bumi mereka kepada “Bapak Gede’ yaitu Gubernur Banten atau Bupati Lebak.

“Justru dalam tataran kehidupan mereka, kita harus banyak belajar dari suku Badui yang hidup sederhana dan tetap melestarikan kebudayaan nenek moyang. Dalam menjalankan kehidupan sehari hari pun mereka tidak ambisius dan tidak ada persaingan usaha,” kata Yemelia.

Tak hanya itu, setiap tamu yang berkunjung ke suku Badui, baik itu ke Badui Dalam maupun Badui Luar, setiap tamu yang datang berkunjung ke rumah suku Badui akan disuguhkan minuman.”Di Pendopo rumah mereka itu sudah tersedia teh dan kopi untuk disuguhkan ke tamu yang datang tanpa memandang suku dan agama tamu yang datang,” katanya.

Yemelia juga membantah adanya stigma warga suku Badui adalah suku yang tertutup untuk orang luar.” Justru suku Badui itu sangat terbuka untuk orang luar. Namun demikian, mereka tetap memegang teguh kepercayaan, adat dan budaya mereka,” tegas Yemelia.

Biasanya kata Yemelia, warga Suku Badui Dalam dan Badui Luar yang pindah bermukim berbaur dengan masyarakat luar non suku Badui, karena alasan pindah agama dan ingin bebas sehingga tidak terikat dengan adat di Badui lagi.

” Kemarin ini saya juga membahas hal ini dengan Jaro Tanggungan 12, terkait banyaknya suku Badui yang pindah menganut agama lain, seperti ke agama Islam. Kenapa mereka yang pindah menganut agama lain harus bermukim ke kampung di luar Badui ? Karena di Badui Dalam dan Badui Luar itu mereka harus terikat dengan adat, tidak boleh ini dan tidak boleh itu, sementara jika mereka sudah berbaur dengan masyarakat luar selain masyarakat suku Badui, mereka sudah bisa bebas tanpa terikat dengan aturan adat lagi, seperti boleh menggunakan listrik, menggunakan handhpone, menonton televisi dan berpergian naik kendaraan,” paparnya.

Ia tak memungkiri, di era globalisasi dan moderisasi saat ini banyak juga warga suku Badui Dalam yang terpengaruh untuk bisa hidup bebas seperti masyarakat kebanyakan, sehingga mereka memilih keluar dari pemukiman Badui Dalam.” Meski begitu mereka tidak dibuang dalam keluarga, namun hanya tidak boleh tingga di pemukiman Badui Dalam, dan mereka tetap saling mengunjungi,” tandasnya.(yas)

Exit mobile version