INDOPOS.CO.ID – Dinandung… Nandunglah sayang… Kalaulah tuan naik perahu janganlah lupo lah dek membawa jalo… Kalaulah tuan naik perahu dek oi… Janganlah lupolah dek membawa jalo…
Kalaulah tuan inginlah tahu… Ikolah dio ikolah dio tubasolah tuan… Senandunglah jolo…
Itulah sepenggal syair Senandung Jolo yang dilantunkan oleh para maestro Senandung Jolo bersama anak-anak yang sedang bersemangat belajar mempraktikkan cara bejolo (melantukan syair Senandung Jolo). Tampak sejumlah remaja sedang duduk berselonjor. Masing-masing dari mereka memangku empat bilah kayu mahang (Macaranga Mauritiana) yang siap diketuk. Ada pula dari mereka yang mengempit alat musik gendang, gong, dan rebana. Beberapa saat kemudian irama ketukan kayu mahang itu mengantarkan mereka bersenandung.
Para remaja itu sedang berlatih memainkan kesenian Senandung Jolo bersama tiga maestro di kampung mereka di Sanggar Seni Mengorak Silo di Kelurahan Tanjung, Kecamatan Kumpeh Ilir, Kabupaten Muaro Jambi, Provinsi Jambi.
Senandung Jolo merupakan seni sastra tutur dalam bentuk pantun yang dinyanyikan. Kesenian ini berkembang di Dusun Tanjung, Kabupaten Muaro Jambi. Awalnya kesenian ini hanya berfungsi sebagai curahan hati yang yang diungkapkan sambil menunggu sawah atau pada saat berada di perahu seusai memasang alat tangkap ikan.
Pada perkembangannya, kesenian ini tampil sebagai seni pertunjukan berupa syair pantun yang dinyanyikan secara berbalasan, diiringi dengan alat musik pukul. Senandung Jolo telah ditetapkan warisan budaya takbenda (WBTb) Indonesia sejak tahun 2014.
Salah satu upaya melestarikan Senandung Jolo dilakukan dengan mengenalkannya kepada generasi muda dan melatih mereka untuk bisa menuturkan syair dan pantun Senandung Jolo, serta melakukan pendokumentasian karya Maestro itu sendiri. Dengan semangat itulah, Mutia Lestari Zurhaz, seorang guru honorer asal Jambi yang memiliki kepedulian terhadap pemajuan kebudayaan, mengajukan ide dan usulan kegiatan pelestarian melalui program Dana Indonesiana dengan kategori Dokumentasi Karya dan Pengetahuan Maestro.
Dana Indonesiana atau Dana Abadi Kebudayaan adalah dana yang diakumulasikan dalam bentuk dana abadi yang hasil kelolaannya digunakan untuk mendukung kegiatan terkait pemajuan kebudayaan. Program ini merupakan salah satu wujud implementasi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan. Setelah melalui beberapa tahapan seleksi dan verifikasi lapangan, pada September 2022, ratusan pegiat budaya perorangan dan komunitas menandatangani kontrak program Dana Indonesiana dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) dan Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP).
Kemudian sejak awal November 2022, tiga maestro Senandung Jolo mendapatkan ruang untuk mengajarkan karya budaya Senandung Jolo kepada para remaja dengan program Dana Indonesiana. Ketiga maestro tersebut adalah Maryam, Degum, dan Zuhdi. Selama ini mereka terus merawat Senandung Jolo karena tak ingin Senandung Jolo berhenti mengantarkan irama-irama dan lantunan vokal berbentuk syair dan tutur.
Wak Zuhdi, salah satu maestro Senandung Jolo mengatakan, selama ini mereka hanya memberikan pelatihan kesenian Senandung Jolo di luar kampung mereka. Namun kali ini mereka bersyukur bisa berbagi pengetahuan untuk anak-anak remaja di kampung sendiri.
“Kesempatan ini kami gunakan untuk mengajarkan syair dan pantun yang dituturkan, memilih kayu, dan membuat alat musik gambang yang biasa digunakan untuk pertunjukan musik Senandung Jolo,” kata Wak Zuhdi.
Sebagai salah satu penerima manfaat program Dana Indonesiana, Mutia Lestari Zurhaz, mengatakan hadirnya program Dana Indonesiana telah membuka ruang semangat kebangkitan para seniman, budayawan, dan pegiat seni budaya di daerah. Sebelumnya, semangat mereka sempat redup dalam melakukan berbagai inovasi untuk merawat dan melestarikan budaya.
Mutia menuturkan, kegiatan pelatihan Senandung Jolo dari maestro ke generasi muda ini termasuk ke dalam aktivitas dokumentasi karya pengetahuan maestro dengan objek Senandung Jolo. Pada sesi awal mereka telah membuat film dokumenter dari ketiga maestro tersebut dan dilanjutkan dengan proses belajar bareng maestro. Program “Pendokumentasian Pengetahuan Maestro Senandung Jolo” ini akan berakhir pada akhir Desember 2022. Kemudian di sesi akhir akan dilaksanakan pemutaran film dokumenter, pementasan, dan seminar.
Proses pelatihan bersama maestro dimulai dari belajar mengingat dan menuturkan syair serta pantun yang menjadi kekuatan karya budaya itu. Selain itu para remaja juga diajarkan memilih kayu hingga membuat alat musik gambang sebagai ciri seni pertunjukan musik Senandung Jolo. Kayu yang dipilih adalah kayu yang mudah tumbuh atau biasa disebut dengan kayu mahang.
“Sebanyak 20 anak muda asal Kelurahan Tanjung-Kumpeh ini memiliki semangat untuk belajar dengan Nek Maryam, Wak Degum, dan Wak Zuhdi. Penutur muda ini memilih menjadi pemain, bukan penonton. Mereka memilih menjadi subjek, bukan sebagai objek,” ujar Mutia.
Ia berharap Pemerintah Kabupaten Muaro Jambi dan Pemerintah Provinsi Jambi bisa bersama-sama melakukan pelindungan kesenian Senandung Jolo sehingga aktivitas pelindungan yang sudah dilakukan bukan menjadi akhir dari semangat bersama untuk saling berbagi, mengisi, dan membesarkan. Sebagai fasilitator, menurutnya pemerintah harus menguatkan regulasi mengenai upaya regenerasi penutur muda.
Salah satu upaya tersebut adalah dengan menyusun muatan lokal tentang kekayaan budaya yang dimiliki oleh Kabupaten Muaro Jambi. Aktivitas untuk menjadikan kebudayaan hidup di tengah masyarakat melalui muatan lokal di institusi pendidikan bisa menjadi alternatif perpanjangan tangan proses pengenalan dan pewarisan budaya kepada generasi muda.(adv)