INDOPOS.CO.ID – Tiga petambak Karimun Jawa, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah, yang ditahan dalam perkara dugaan tindak pidana pencemaran lingkungan, melayangkan surat permohonan perlindungan hukum kepada Kepala KejaksaanTinggi Jawa Tengah. Menilai proses hukum tidak mencerminkan rasa keadilan dan bernuansa kriminalisasi, mereka pun meminta agar penyidikan dihentikan dan segera dibebaskan dari status tahanan.
Surat permohonan perlindungan hukum atas nama tersangka Sutrisno (50), petambak warga RT 001/004 Karimun Jawa, Jepara, Jawa Tengah, dilayangkan pada 25 April 2004 dengan ditandatangani penasihat hukumnya, Naen Soeryono S.H. M.H, dari kantor pengacara Naen Soeryono dan Rekan. Sedangkan surat permohonan perlindungan hukum yang dilayangkan oleh petambak Teguh Santoso (44), warga Dukuh Karimun Jawa RT 004/001, Jepara, Jawa Tengah, dan petambak Mirah Sanusi Darwiyah (48) dilayangkan pada 26 April 2004 dan ditandatangani oleh penasihat hukum Sofyan Hadi , dari kantor pengacara Lembaga Bantuan Hukum-Indonesia Menggugat.
Pengacara ketiga tersangka yang sampai hari ini masih mendekam di sel tahanan itu menilai, penyidik dari Penegakan Hukum (Gakkum) Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah melakukan serangkaian kekeliruan dalam menerapkan pasal-pasal Undang-Undang nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, serta Undang-Undang nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH).
“Pasal 31 Undang-Undang 5/1990 memberi ruang pada masyarakat untuk melakukan kegiatan usaha budi daya di kawasan Balai Taman Nasional (BTN) Karimun Jawa. Dalam rangka melakukan kegiatan usaha budi daya, para petambak memasang pipa inlet untuk menyedot air laut ke dalam kolam tambak. Pihak BTN sendiri mengetahui perihal pemasangan pipa inlet ini sejak paara petambak memulai usaha budi daya dengan mengajukan permohonan groundcheck atau pengecekan kondisi lapangan,” ujar Naen Soeryono kepada media, Selasa (7/06/2024).
Namun, aparat Gakkum KLHK justru menerapkan pasal yang berbeda, yakni Pasal 33 Ayat 3, perihal larangan untuk melakukan kegiatan yang tidak sesuai dengan fungsi zona pemanfatan dan zona lain di kawasan taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam. Menindaklanjuti aturan itu, pada 3 November 2023 digelar operasi gabungan Gakkum KLHK.
Dalam operasi gabungan Gakkum KLHK itu, petugas menyasar jaringan pipa inlet milik para petambak di lingkungan Karimun Jawa. Razia penertiban pipa inlet itu menjadi pintu masuk aparat Gakkum untuk menghentikan kegiatan usaha budi daya tambak udang di Karimun Jawa lantaran Gakkum KLHK melakukan proses hukum lebih jauh dengan menerapkan Undang-Undang 5/1990 dan Undang Undang PPLH.
Perihal keberadaan pipa inlet, Sofyan Hadi memaparkan, saksi-saksi pegawai Balai Taman Nasional patut diduga telah memberikan keterangan palsu kepada penyidik Gakkum KLHK dengan menyebut keberadaan pipa inlet itu merupakan temuan pelanggaran oleh petambak udang, pada 3 November 2023. Faktanya, para pegawai BTN itu mengetahui bahkan para petambak ada yang memiliki bukti foto petugas BTN yang mendampingi dan mengarahkan saat pemasangan pipa inlet tersebut. “Saat awal pemasangan pipa inlet, pegawai BTN mengarahkan agar pemasangan mengikuti jalur babakan, yaitu keluar masuknya kapal nelayan Karimun Jawa. Secara informal pemasangan pipa inlet disetujui pihak BTN, hanya saja memang belum sempat diformalkan dalan bentuk perjanjian kerja sama seperti yang dilakukan sektor usaha lain di bidang perhotelan atau sektor wisata yang juga memasang pipa menuju perairan Karimun Jawa,” papar Sofyan Hadi.
Naen Soeryono dan Sofyan Hadi menyatakan, kegiatan budi daya tambak sama sekali tidak melanggar ketentuan Pasal 33 Ayat 3 UU Konservasi Sumber Daya Alam seperti yang sekarang dijeratkan kepada ketiga tersangka Sutrisno, Teguh Santoso, dan Mirah Sanusi Darwiyah. Kegiatan budi daya udang termasuk yang diperbolehkan untuk melakukan kegiatan di zona pemanfaatan di mana para petambak memasukkan pipa inlet di zona tersebut.
Tudingan Sumir
Langkah hukum lain yang digelar aparat Gakkum KLHK, menurut Naen dan Sofyan, juga mengandung kekeliruan. Yakni, yang terkait dengan penerapan Pasal 98 Ayat 1 UU 32/2009 tentang PPLH. Disebutkan dalam pasal “siapa saja yang dengan sengaja menyebabkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup diancam pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling tinggi Rp10 miliar”.
Sedangkan, hasil pengujian yang dilakukan oleh BTN diragukan kesahihannya. Sebab, menurut Naen dan Sofyan, hasil uji yang dilakukan laboratorium forensik Mabes Polri menemukan hasil sebaliknya. Di mana, sampel air laut di Karimun Jawa tidak mengalami pencemaran di atas baku mutu.
“Uji baku mutu air laut yang dilakukan hanya sekali oleh pihak BTN itu, nyatanya digunakan aparat Gakkum KLHK untuk menjadikan 4 orang petambak sebagai tersangka, bahkan menahan tiga orang di antaranya. Padahal unsur sebab akibat antara pencemaran lingkungan perairan Karimun Jawa dengan kegiatan budi daya tambak udang, sama sekali belum diketahui secara terang-benderang,” katanya.
Kekeliruan yang paling mencengangkan, menurut Sofyan, terjadi pada tersangka Mirah Sanusi Darwiyah. Ibu rumah tangga itu dijerat Pasal 98 Ayat 1 UU 32/2009 tentang PPLH dengan dasar laporan Pengumpulan Bahan dan Keterangan yang dilaksanakan pada 2022. Padahal, menurut Sofyan, Mirah Sanusi sendiri baru memulai budi daya udang pada September 2023. “Bagaimana mungkin seseorang yang melakukan kegiatan budi daya udang pada 2023, bisa dikaitkan dengan peristiwa pencemaran lingkungan pada 2022?” ujar Sofyan.
Selain itu, tambah Sofyan, penyidik Gakkum KLHK juga mendatangi tambak Bu Mirah untuk mengambil sampel air, tanah, dan tumbuhan di lokasi tambaknya pada tangal 1-2 April 2024. Kegiatan serupa itu juga dilakukan penyidik Gakkum KLHK di lokasi tambak milik para tersangka lainnya. “Apa maksud dan tujuan kegiatan itu? Sebab tambak Bu Mirah kan sudah berhenti beroperasi sejak empat bulan sebelumnya,” ujarnya. (srv)