Sepak Bola Indonesia, Antara Impian Prestasi dan Realitas Tekanan

Ernando-Ari

Aksi Ernando Ari saat menghadapi Jepang di Grup D Piala Asia 2023, di Al Thumama Stadium, Rabu 24 Januari 2024. Foto: AP Photo/Thanassis Stavrakis

INDOPOS.CO.ID – Bang Erick Thohir adalah ketua umum PSSI terbaik yang pernah saya tahu. Minimal, sejak saya ikut terjun langsung di dunia sepak bola Indonesia. Punya visi industri, punya visi prestasi, yang bisa mengantarkan sepak bola kita ke arah jauh lebih baik dari sebelumnya.

STY adalah salah satu pelatih timnas terbaik yang pernah kita rasakan. Minimal kita sekarang merasakan punya timnas yang punya gereget, yang step by step rasanya menuju lebih baik.

Liga sepak bola kita juga saya rasakan menuju lebih baik. Untuk kali pertama sejak entah kapan (seperti lirik lagu Frozen), ada penjadwalan yang lebih baik, program pengembangan ke depan yang lebih baik, walau masih terbelenggu oleh kendala-kendala teknis dan finansial bawaan dari masa lalu. Ini berkat keterlibatan seluruh tim peserta beriringan berkolaborasi dengan pimpinan PSSI yang baru.

Di bulan Ramadhan ini, semua sedang under pressure.

Bang Erick sedang semangat-semangatnya, serius-seriusnya, membawa timnas kita ke level yang belum pernah dicapai. Saya selalu menyebut, punya klub sepak bola itu seperti menjadi departemen atau dinas kebahagiaan masyarakat. Nah, Bang Erick ini seperti pimpinan kementerian kebahagiaan masyarakat se-Indonesia. Bang Erick sedang under pressure untuk memberikan yang terbaik untuk kebahagiaan masyarakat bola Indonesia.

STY sedang under pressure juga untuk meraih hasil terbaik. Mungkin, dia sedang under pressure untuk mempertahankan pekerjaan, dengan target-target yang mungkin sudah dibahas di PSSI. Pressure yang diturunkan ke seluruh barisan di bawahnya, termasuk para pemain. Dalam konteks ini, yang under pressure mungkin bukan hanya STY. Bahkan mungkin, Badan Tim Nasional mungkin lebih under pressure dari STY.

Klub-klub Liga 1, sekarang, juga sedang under pressure. Liga sudah memasuki pekan ke-31 dari total 34. Hanya sisa empat pertandingan untuk menentukan nasib di akhir musim. Hampir semua klub sedang berusaha mati-matian dalam empat pertandingan sisa ini.

Ada yang mengejar empat besar untuk lolos Championship Series, ada yang mengejar posisi terbaik di klasemen. Ada juga yang –paling mengerikan– berusaha terhindar dari degradasi.

Pressure untuk memuaskan suporternya, pressure untuk menyenangkan sponsornya, pressure untuk membahagiakan ownership-nya.

Yang jadi kasihan: Para pemain. Apalagi yang dipanggil tim nasional. Mereka under pressure dari PSSI dan STY, under pressure dari klubnya (yang notabene memberinya penghasilan utama), under pressure dari masyarakat bola Indonesia.

Ketika begitu banyak elemen di dunia yang sama under pressure, meminjam istilah bahasa Inggris yang juga judul film komedi: Something’s Gotta Give. Gampangnya: Ada yang jadi korban. Atau ada yang bersedia berkorban. Atau ada yang terpaksa dikorbankan.

Terjadilah surat keputusan malam Minggu, 30 Maret 2024. Liga 1 dihentikan sementara untuk tim nasional U23 bersiap dan bertanding menghadapi putaran final Piala Asia.

Pemicunya: Ada begitu banyak pemain yang tidak dilepas klub untuk mengikuti pemusatan latihan pada 1-11 April 2024. Setahu saya, hingga 30 Maret itu, 21 pemain tidak dilepas klubnya. Hanya sembilan yang akan berangkat. Ada yang terang-terangan mengirim surat. Ada yang jalan diskusi via teks atau telepon.

Memang, kalender U23 itu bukan kalender FIFA. Klub-klub tidak wajib melepas pemainnya. Tapi kita tidak usah munafik. Klub-klub sedang under pressure untuk meraih yang terbaik di sisa musim Liga 1 ini, yang hanya sisa empat pertandingan.

Apalagi, sebenarnya jadwal pertandingan pekan 31 hanya sisa beberapa hari. Hanya Senin sampai Kamis, 1-4 April. Setelah itu libur panjang untuk Idul Fitri, baru kembali bertanding di pertengahan April.

STY dan timnas mungkin punya alasan teknis kenapa TC 1-11 April. Namun andai ada komunikasi lebih baik, kenapa tidak menunggu setelah atau pada 4 April dimulai? Atau, pemain-pemain diberi waktu membela klubnya dulu di fase krusial liga pekan 31 ini, baru kemudian boleh bergabung. Toh ada yang tanggal 1 sudah selesai, tanggal 2 sudah selesai, dan tanggal 3 sudah selesai.

Toh selama ini pemain bolak-balik mepet gabung dan pisah juga terjadi. Kasihan pemainnya memang, tapi sudah terjadi dan semua bisa ter-manage semaksimal mungkin.

Ketika semua sedang under pressure begini, memang kadang kita semua bisa agak mengabaikan common sense.

Sukses tim nasional sepak bola Indonesia memang bukan emergency nasional, tapi mungkin tetap bisa dikategorikan kepentingan nasional. Dalam konteks ini, sukses liga sepak bola Indonesia juga kepentingan nasional. Karena semua, dari PSSI sampai seluruh klub, adalah departemen kebahagiaan masyarakat –khususnya masyarakat bola– di seluruh penjuru tanah air.

Kalau “something’s gotta give” itu timnasnya, prestasi yang diimpikan bisa kembali tertunda, STY bisa kehilangan pekerjaan, PSSI tidak bisa membahagiakan masyarakat bola.

Kalau “something’s gotta give” itu liganya, jadwal kembali karut marut, biaya kembali membengkak untuk sesuatu yang emosional, dan pemborosan karena hal sederhana begini bukanlah sesuatu yang “responsible” di saat banyak masyarakat kita sedang kesulitan memenuhi kebutuhan pokok hidupnya.

Banyak di antara kita tidak ingin kehilangan STY sebagai pelatih timnas. Kita juga tidak ingin klub-klub kembali merasakan suffering ala rezim-rezim PSSI masa lalu. Dan kita sangat, sangat, tidak ingin kehilangan ketua umum PSSI seperti Bang Erick Thohir.

Untuk menuju lebih baik, semua pasti akan menghadapi ujian. Sekarang, kita kembali menghadapi ujian common sense (kewarasan?) menyikapi sepak bola Indonesia. Dari level tertinggi, semua yang terlibat di dalamnya, hingga masyarakatnya. (Azrul Ananda)

Exit mobile version