INDOPOS.CO.ID – Wakil Ketua Umum Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia Fahri Hamzah mendorong untuk mengaktifkan kembali kewenangan MPR RI, berupa Ketetapan (TAP) MPR RI. Hal itu dilakukan untuk mengurai problem konstitusional dan ketatanegaraan saat ini.
“Jika intervensi politik tingkat tinggi diperlukan dalam mengurai kebuntuan politik, maka yang melakukannya adalah sebuah lembaga yang cukup kuat dalam sejarahnya,” kata Fahri, Kamis (30/3/2023).
Hal ini disampaikan Fahri Hamzah dalam bedah buku ‘PPHN Tanpa Amandemen’ karya Ketua MPR RI Bambang Soesatyo di Gedung DPR/MPR, Rabu (29/3/2023) sore.
Di dalam hirarki peraturan perundangan, kata Fahri, TAP MPR berada pada di urutan kedua di bawah UUD 1945. Dimana TAP MPR, diatur dalam pasal 7 UU 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang dimaksud dengan Ketetapan MPR tersebut adalah TAP MPRS dan TAP MPR sampai tahun 2002.
“Artinya, MPR RI tidak lagi bisa membuat ketetapan, karena ketetapan produk di atas tahun 2002 tidak masuk dalam hirarki peraturan perundangan. Maka penjelasan Pasal 7 UU 12 Tahun 2011 mutlak harus dihapus dengan Revisi Undang-Undang,” ujarnya.
Dengan demikian dengan dihapusnya pasal tersebut, diharapkan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) bisa ditetapkan sebagai TAP MPR.
Menurut Fahri, bangsa besar seperti Indonesia dapat saja ditengah jalan menghadapi tantangan yang berasal dari luar dan dari dalam negeri. Dari luar misalnya, apabila terjadi perang yang berdampak pada kawasan di Indonesia.
“Dari dalam bisa terjadi misalnya, apabila kita membaca ada kesalahan yang berulang-ulang serta berpotensi menciptakan bom waktu dalam demokrasi kita. Sebut saja kesalahan berulang-ulang dalam penyelenggaraan Pemilu yang akhirnya berakibat pada buruknya sistem politik dan kacaunya sistem ketaatanegaraan,” tandasnya.
Kemudian terjadi perdebatan tentang sistem proporsional terbuka dan tertutup dalam pemilu misalnya, sebagai koreksi atas degradasi mentalitas pemilih dan yang dipilih.
Fahri berpandangan perlunya instrumen yang bisa mengkoreksi sistem representasi secara fundamental yang akan berakibat pada perbaikan sistem politik dan penyelenggaraan negara secara utuh.
“Katakanlah jika implikasi dari perubahan itu dapat disetarakan dengan terjadinya reformasi jilid dua pasca amandemen konstitusi dan jatuhnya rezim orba seperempat abad yang lalu. Maka kita tidak bisa lagi membiarkan ini menjadi aspirasi yang meledak dan menjadi demonstrasi dan kerusuhan. Jadi, selayaknyalah MPR RI mengambil inisiatif untuk lahirnya sebuah ketetapan yang mengoreksi jalannya sistem Pemilu dan sistem politik yang ada sekarang,” tegasnya.
Ia menegaskan TAP MPR itu, harus lahir dalam keadaan darurat. Bisa dikatakan sebagai Perppu di kamar legislatif untuk melakukan koreksi jalur cepat ketatanegaraan kita.
Oleh sebab itu, perlu dipikirkan secara lebih serius situasi ke depan yang diakibatkan oleh pembiaran terus menerus dan kesalahpahaman yang tidak ada jalan keluarnya atau jalan buntu Konstitusi (contitutional deadlock), baik oleh DPR, Presiden dan juga Mahkamah Konsitusi.
Dalam kesempatan ini ia menyampaikan 7 (tujuh) catatan untuk mengingatkan semua pihak, khususnya para politisi dan pengambil kebijakan tertinggi akan pentingnya kewaspadaan agar jangan sampai bangsa ini menghadapi jalan buntu. (srv)