Oleh: Dr. Taufan Hunneman, Dosen Universitas Catur Insan Cendekia (UCIC) Cirebon
INDOPOS.CO.ID – COP28 mendatang akan diselenggarakan di Dubai, Uni Emirat Arab, 30 November-12 Desember 2023. COP28 (Konferensi Para Pihak) adalah forum untuk membicarakan Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (COP-UNFCCC).
Sejak COP21 tahun 2015 di Paris, COP berkisar pada bagaimana menerapkan Perjanjian Paris, yakni menjaga kenaikan suhu rata-rata global jauh di bawah 2 derajat celsius, serta mengupayakan membatasi kenaikan hingga 1,5 derajat celsius di atas suhu sebelum revolusi industri pertengahan Abad 19. Kemudian juga memastikan skema pendanaan, untuk mendorong reduksi emisi gas rumah kaca (GRK) dan pembangunan berketahanan iklim.
Selaras surat yang disampaikan Presiden COP28 (Sultan Ahmed Al Jaber) pada Juli 2023, kepada segenap delegasi partisipan, bahwa agenda COP 28 tetap fokus pada paradigma mempercepat transisi energi dan mengurangi emisi sebelum tahun 2030. Selanjutnya melakukan transformasi pendanaan iklim, dengan memenuhi janji-janji lama dan menetapkan kerangka kerja untuk kesepakatan baru di bidang pendanaan.
Nyaris semua negara gagal memenuhi target penurunan emisi, sehingga suhu Bumi terus meningkat. Di tengah darurat iklim seperti ini, COP28 kembali menghadirkan harapan untuk membawa dunia ke jalur yang lebih berkelanjutan. Suhu Bumi terus meningkat, suhu yang memanas serta sejumlah bencana terjadi di berbagai belahan dunia. Fenomena ini menggarisbawahi mendesaknya pengurangan emisi gas rumah kaca dalam skala masif.
Komitmen pendanaan negara maju
Pada COP27 akhir tahun lalu di Mesir, muncul kesepakatan dana global untuk “kerugian dan kerusakan” (loss and damage), sebagai komitmen bantuan pendanaan negara maju membantu negara-negara berkembang dan rentan, yang didera bencana iklim. Pada pembicaraan pertemuan iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), dana loss and damage mengacu pada biaya yang dikeluarkan atas cuaca ekstrem atau dampak yang dipicu oleh iklim, seperti naiknya permukaan laut. Pendanaan iklim sejauh ini fokus pada pengurangan emisi karbon, bagian dari upaya menghambat pemanasan global.
Merujuk laporan terbaru yang diterbitkan Institute for Environment and Human Security (UNU-EHS) di Universitas PBB, solusi pengurangan emisi gas rumah kaca harus segera dilaksanakan, sebelum iklim Bumi, sistem produksi pangan dan cadangan air kolaps. Laporan iklim terbaru yang diterbitkan lembaga prestisius tersebut menyiratkan kemuraman, daampak yang mengerikan dan tidak dapat dicegah bagi manusia dan planet Bumi.
Menurut Jack O’Connor, penulis utama dan peneliti senior di UNU-EHS, saat kita mendekati titik kritis ini, kita sudah mulai merasakan dampaknya. Sekali kita melewatinya, akan sulit untuk kembali ke masa lalu, akan segera terjadi jika ekosistem global yang rusak tidak dapat dikembalikan lagi.
Menjadi tugas penting yang dihadapi para perunding di Dubai untuk membahas kembali dana kerugian dan kerusakan (yang dibentuk pada COP27), serta menyepakati kerangka kerja tujuan global adaptasi (GGA) Perjanjian Paris.
Permasalahan lain yang mungkin mendapat banyak perhatian, dan tercermin dalam beberapa jalur negosiasi, termasuk transisi energi dan transformasi sistem pangan. Sebagaimana yang sering terjadi, diskusi dan negosiasi mengenai pendanaan iklim kemungkinan besar akan menjadi focus utama.
Pasca-COP27 sejumlah negara pulau-pulau kecil dan berkembang, aktif mendorong kompensasi. Mereka meminta perundingan tentang komitmen pendanaan negara maju sebagai agenda utama COP27. Bagi negara-negara miskin di Afrika, komitmen pendanaan dari negara maju akan menjadi parameter keberhasilan COP 27, kendati implementasinya adalah proses yang lain lagi.
Selama ini mayoritas negara maju terkesan selalu menunda-nunda pembayaran kompensasi, sebagaimana komitmen sebelumnya yang muncul pada COP21 di Paris, soal pendanaan USD100 miliar, namun realisasinya tidak pernah jelas. Kesepakatan pada pembicaraan iklim COP27 untuk menyiapkan dana “kerugian dan kerusakan” menandai tonggak sejarah dalam perjuangan panjang untuk mendapatkan bantuan bagi masyarakat miskin di garis depan pemanasan global.
Aliansi Negara Pulau Kecil (AOSIS) mengatakan, anggotanya di Pasifik dan Karibia telah melakukan semua upaya di COP27 untuk mendapatkan dana yang telah mereka kejar selama 30 tahun, sejak masalah kerugian dan kerusakan pertama kali diangkat oleh delegasi Vanuatu.
Bagi Indonesia, pendanaan aksi iklim memang perlu, seperti narasi pendanaan global “loss and damage” yang berkembang selama COP27.
Presiden Joko Widodo saat COP26 di Glasgow akhir tahun 2021, mengingatkan kembali soal komitmen pendanaan global sebesar USD100 miliar. Kemudian Wakil Presiden Ma’ruf Amin saat berbicara di podium COP27, kembali menyinggung komitmen negara-negara maju tersebut, yang sejatinya sudah disepakati sejak COP21 di Paris (2015).
Kolaborasi regional
Melalui akselerasi program transisi energi, Indonesia secara mandiri sudah melakukan ikhtiar konkret menahan kenaikan suhu Bumi di bawah 1,5 derajat celsius. Sejak lama pemangku kepentingan berpandangan, dengan berbasis data dan sains, bahwa transisi energi merupakan salah satu langkah mengatasi krisis iklim. Berdasar sains pula, kenaikan suhu Bumi saat ini sudah di atas 1 derajat celsius. Artinya, bila kita tidak melakukan aksi nyata sekarang, kenaikan suhu Bumi bisa lebih cepat, dengan efek bencana hidrometerologi yang lebih parah.
Kemandirian Indonesia dalam aksi iklim dan transisi energi juga terlihat dalam skema pendanaan yang terkonsolidasi saat Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Bali, pertengahan November tahun lalu. Program strategis pemerintah dalam pengakhiran dini (early retirement) PLTU berbasis batubara, mendapat pendanaan sebesar USD20 miliar, melalui platform Just Energy Transition Partnership (JETP), yang dimotori Amerika Serikat dan Jepang.
Pada level regional, Indonesia mendorong kolaborasi memperluas produksi listrik berbasis energi terbarukan multilateral di kawasan, guna meningkatkan kapasitas dalam menyerap energi terbarukan melalui jaringan listrik (power grid) ASEAN. Indonesia bisa menjadi faktor katalis dalam isu transisi energi, melalui implementasi skala besar penggantian bahan bakar berbasis fosil menuju energi hijau dan terbarukan.
Dalam posisi Keketuaan ASEAN pula, Indonesia juga bisa menjadi mediator, mengingat persoalan setiap negara anggota ASEAN memiliki hambatan dan kebutuhan berbeda dalam transformasi sistem energi. Dalam posisi sebagai Keketuaan ASEAN pula, Indonesia terus mendorong komitmen ASEAN dalam menerapkan prinsip ekonomi hijau.
Berdasarkan asumsi, di masa depan, penerapan ekonomi hijau dapat menjadi faktor daya saing yang kuat. Ekonomi yang memperhatikan kelestarian lingkungan tercermin dari pemanfaatan energi hijau, bahwa semakin cepat suatu negara menciptakan inovasi-inovasi yang menyertai energi hijau tersebut, keunggulan kompetitif pun akan semakin cepat diraih.
Komitmen sepuluh negara anggota ASEAN untuk mencapai emisi nol bersih pada tahun 2050, terbilang ambisius sekaligus terukur. Sementara hanya Filipina yang belum berkomitmen mencapai nol bersih pada tahun 2050, sedangkan Indonesia telah menetapkan target pada tahun 2060. Target dan perkiraan yang mungkin saja berbeda tiap negara, sebagai penanda bahwa praktik mencapai nol bersih bukan jalan mudah.
Negara-negara ASEAN telah sepakat untuk meningkatkan kontribusi energi terbarukan menjadi 23 persen pada tahun 2025 dan bergerak menuju masa depan rendah karbon. Untuk mencapai tujuan tersebut, ASEAN akan menghadapi tantangan besar yakni pembiayaan investasi yang signifikan untuk beralih dari energi berbasis bahan bakar fosil ke energi terbarukan. Komunitas internasional dan mitra utama akan berperan penting dalam mendukung ASEAN untuk mempercepat misi transisi energi rendah karbon, melalui peningkatan penyediaan pembiayaan iklim dan fasilitasi transfer teknologi rendah karbon.
Berdasarkan kajian IRENA, ASEAN membutuhkan pembiayaan besar untuk program transisi energi. Untuk mencapai 100 persen energi terbarukan tahun 2050, dibutuhkan dana sekitar 29,4 triliun US dollar. Untuk itu diperlukan dukungan pendanaan dari negara maju dan institusi finansial global seperti Just Energy Transition Partnership (JETP), Asia Zero Emission Community (AZEC), ADB (Asian Development Bank), dan seterusnya.
Salah satu skema pendanaan yang sudah berjalan adalah platform Energy Transition Mechanism (ETM), yang diharapkan bisa menjadi model pensiun dini (early retirement) PLTU kawasan Asia Tenggara. ETM mendapat dukungan penuh Bank Pembangunan Asia (ADB), yang bekerja sama dengan mitra regional dan internasional.
Model kemitraan ETM adalah yang pertama untuk kawasan Asia-Pasifik, bertujuan mempercepat transisi energi bersih di Asia Tenggara. Kemitraan ini didukung oleh pejabat tingkat kabinet senior dari Denmark, Inggris, dan Amerika Serikat, serta lembaga keuangan dan filantropi global terkemuka. ETM diharapkan bisa menjadi model di kawasan lain untuk peta jalan menuju target nol emisi. Di masa datang, ADB berkomitmen mendukung upaya transisi energi kawasan Asia-Pasifik.
Bergulirnya platform ETM di Indonesia, Filipina, dan (termasuk) Vietnam, bertujuan mempercepat pensiun 50 persen PLTU, yaitu sekitar 30 gigawatt, selama 10 hingga 15 tahun ke depan. Kemudian dapat mereduksi 200 juta ton karbon dioksida emisi per tahun, setara dengan mengeluarkan 61 juta mobil dari jalan raya. Seiring pertumbuhannya, ETM berpotensi menjadi program pengurangan karbon terbesar di dunia.
Merujuk pengalaman Indonesia sendiri, ETM adalah skema kerja sama yang ditawarkan pemerintah Indonesia untuk berbagai pihak bisa terlibat untuk proyek energi bersih di Indonesia. ETM dibentuk untuk bisa memberikan ruang transparansi bagi para investor, lembaga donor internasional maupun sektor swasta terhadap proyek energi bersih di Indonesia. (*)