INDOPOS.CO.ID – Kegagalan bukanlah akhir perjuangan, melainkan awal keberhasilan. Itulah pepatah yang dialami PT Wilmar Padi Indonesia (WPI), anak usaha Wilmar Group dalam perjuangannya menyulap sawah yang tidak produktif atau lahan mati milik petani menjadi hidup kembali.
Lahan itu berada di Desa Kedungrawan, Kecamatan Krembung, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur (Jatim) dengan luas enam hektare (ha). WPI diminta mengelola lahan tersebut sebanyak tiga kali Musim Tanam (MT).
Awal menggarap lahan itu sempat mengalami satu kali kegagalan, namun akhirnya WPI memetik kesuksesan sebanyak dua kali panen. Terakhir, pada Rabu (8/5/2024), WPI bersama Mahkota Fertilizer atau Wilmar Chemical Indonesia, anak usaha Wilmar Group; Syngenta, perusahaan agtech berbasis sains; pemerintah daerah (pemda) setempat; dan kelompok tani melakukan Panen Padi Sawah Swakelola.
Presiden Direktur WPI Saronto mengatakan, lahan yang digarap ini semula merupakan lahan yang tidak produktif atau tidur. Petani setempat sudah enggan menggarap lahan itu selama 10 tahun. Mengapa? Karena sawah tersebut selalu kebanjiran atau tergenang air.
“Kebutuhan air sebenarnya cukup, bahkan lebih karena sawah berada di samping sungai. Tapi selama 10 tahun tidak bisa ditangani, sehingga lahan tidak produktif,” jelasnya kepada Indopos.co.id yang ikut menyaksikan Panen Padi Sawah Swakelola, Rabu (8/5/2024).
Kala itu, lanjut Saronto, kepala desa setempat berinisiatif menawarkan kepada Wilmar untuk mengelola lahan tersebut. Awalnya luas yang ditawarkan sekitar 10 ha, tapi setelah dievaluasi, akhirnya WPI mengambil enam ha terhitung sejak 2022.
“Saya memutuskan oke. Kita coba enam ha ini. Kita kerja sama waktu itu juga dengan Wilmar Chemical Indonesia. Kemudian tahun berikutnya kerja sama dengan Syngenta,” ujarnya.
Saronto menerangkan, tahun pertama mengalami kegagalan. Ini disebabkan banyak gulma yang tumbuh selama 10 tahun. Waktu itu, biaya menangani lahan tersebut juga cukup mahal. “Untuk enam ha, sampai kurang lebih saya ingat angkanya Rp210 juta. Jadi kira-kira satu ha sekitar Rp35 juta,” tandasnya.
Sebaliknya, kata Saronto, hasil panen hanya mencapai 1,6 ton. Padahal targetnya harus mencapai minimal lima ton. “Jadi jauh kita rugi. Tapi nggak apa-apa, karena kita kan memang tujuannya menjadikan areal tidak produktif menjadi produktif,” tambahnya.
Tujuan lainnya, lanjut Saronto, pihaknya ingin memberikan edukasi kepada petani. Sebenarnya lahan produktif itu kalau dikelola dengan baik bisa menghasilkan atau menguntungkan secara ekonomis.
Setelah dilakukan evaluasi, kemudian masuk MT kedua. Pihaknya melakukan koordinasi dengan pupuk Syngenta, juga dengan pestisida yang lebih baik. Penggarapan lahan pun dilakukan semakin bagus. Hasilnya? WPI bisa memetik panen yang memuaskan.
“Alhamdulillah, yang kedua itu (hasil panen MT kedua, red) melonjak dari 1,6 ton menjadi enam ton per ha,” pungkas Saronto.
Dia menambahkan, untuk biaya MT kedua juga lebih murah sekitar Rp170 juta, sehingga WPI menuai keuntungan.
Pun terhadap MT ketiga yang merupakan fase terakhir WPI mengelola lahan itu sesuai perjanjian dengan petani. Untuk hasil panen MT ketiga mencapai antara tujuh sampai delapan ton per ha. “Dengan tiga kali penggarapan ini, kita bisa menunjukkan kepada petani kalau lahan digarap dengan benar sih hasilnya juga bagus,” tandasnya.
Saronto menambahkan, pihaknya juga menjalankan program CSR (Corporate Social Responsibility) atau tanggung jawab sosial perusahaan dengan membangun jaringan dan perbaikan irigasi.
“Mekanisme pengairan ditata lebih baik. Karena kan gabah padi itu nggak akan tumbuh kalau airnya nggak cukup. Kebanyakan air juga masalah, kekurangan air juga masalah. Jadi padi itu tanaman agak rewel dan harus tepat (penganganannya, red),” tegasnya.
Bagaimana pendapat petani? Imam Baihaqi, ketua kelompok tani setempat mengaku sangat puas dengan kemitraan bersama WPI.
“Petani sangat terbantu. Kami tidak perlu mengeluarkan modal banyak sekaligus. Karena penanganan lahan dilakukan perusahaan (WPI, red). Perusahaan (WPI, red) juga mau beli hasil panen dengan harga yang baik dan tidak terpotong oleh biaya penanganan lahan dan sebagainya,” katanya.
Imam mengatakan, dari sisi kualitas memang ada peningkatan. Pada MT ketiga bahkan bisa mencapai tujuh sampai delapan ton.
Untuk selanjutnya, pasca kerja sama dengan WPI selesai, Imam dan petani setempat akan melanjutkan penggarapan lahan tersebut. “Tapi kami masih perlu sentuhan teknologi dan inovasi,” pungkasnya.
Melirik Lahan Lain
Sementara itu, WPI melirik lahan lain setelah ditawarkan adanya sawah tidak produktif lagi di Jatim. “Ada yang menawarkan agak luas, sekitar 20 ha lahan tidak produktif lagi. Saya sudah survei, memang arealnya mirip banjir (sawahnya, red) seperti ini (yang di Sidoarjo, red),” ujar Saronto, presiden direktur Wilmar Padi Indonesia (WPI).
Dia menambahkan, lahan itu juga sudah lama tidak berproduksi. “Kadang kasihan petani, dia menggarap kan butuh modal ya. Dia nggak punya modal. Intinya salah satu kendala dalam menggarap lahan tidak produktif itu adalah biaya,” tandas Saronto.
Sejauh ini, lanjut dia, pihaknya memiliki program yang namanya Famer Engagement. Ini untuk areal yang sudah ditanam petani, kemudian bersama WPI ditingkatkan produksinya, misalkan dari enam ton jadi tujuh ton. Dengan cara apa? Tadi dengan bibit unggul dan pupuk yang sesuai dengan ‘soil’ atau tanah. Kemudian juga dengan pestisida yang sesuai dengan serangan hama. Soalnya, sering kali petani menyepelekan serangan hama atau diobati, tapi tidak tepat sesuai dosis.
“Kalau dosis tidak tepat, ya risikonya tambah kebal hamanya. Dan biaya penanganannya dibayar belakangan setelah panen,” terangnya.
Kemudian, lanjut Saronto, WPI mengembangkan lahan-lahan yang tidak produktif menjadi produktif. “Pengalaman Wilmar selama menangani lahan yang tidak produktif di beberapa tempat, berbeda-beda. Ini tergantung karakter tanahnya. Kita harus melakukam ‘soil test’ (uji tanah, red) terlebih dahulu,” jelasnya.
Mengapa? “Ini karena ‘soil test’ mempengaruhi nanti pupuknya berapa dosis yang dipakai, jenis pupuknya apa saja? Jadi nggak sembarangan kasih pupuk,” pungkasnya.
“Intinya penggunaan pupuk NPK (Nitrogen Phospat Kalium) harus tepat dan benar. Mungkin lahan ini perlu P, dosisnya P-nya mungkin juga lebih besar dari lahan yang lain, dan sebagainya,” tambah Saronto.
Dia mengatakan, kondisi tanah berbeda-beda di Pulau Jawa dengan di Sumatera, termasuk wilayah lain. Bahkan kondisi tanah-tanah di Jatim sendiri bisa berbeda.
Apakah sulit untuk menangani lahannya? “Sama saja. Yang penting kita tahu persoalannya apa? Sehingga masalahnya dapat tertangani dengan baik,” tegansya. (aro)