Langkah Darurat Pemakzulan Presiden, Ini Respon Akademisi

tragedi-98

Ilustrasi tragedi 98 berdampak pemakzulan presiden Soeharto Foto: dokumen INDOPOS.CO.ID

INDOPOS.CO.ID – Dinamika dan gejolak perdebatan isu pemakzulan Presiden semakin meningkat. Isu pemakzulan yang diprakarsai Petisi 100 dan Poros Transisi Nasional (PTN) mendapat tanggapan dari berbagai kalangan.

Pakar Hukum Tata Negara dari Fakultas Hukum UGM Zainal Arifin mengatakan, pemakzulan presiden sah-sah saja dilakukan. Tidak tergantung pada sisi pelanggaran konstitusi yang dilakukan oleh presiden.

“Mekanisme yang tersedia saat ini cukup panjang dan sangat rumit. Artinya bahwa ada kendala yang dihadapi secara teknis terkait mekanisme pemakzulan presiden,” kata Zainal Arifin beberapa waktu lalu.

Sementara pakar hukum lainnya menyebutkan bahwa gerakan yang ingin memakzulkan Jokowi itu inkonstitusional, karena tidak sejalan dengan ketentuan Pasal 7B UUD 45. Bahkan ada pakar hukum yang sangat tersohor secara tegas menyebutkan bahwa gerakan pemakzulan presiden adalah suatu bentuk tindakan makar.

Pernyataan semacam ini tentu menyesatkan logika berfikir public, sebab mekanisme pemakzulan presiden telah dirumuskan secara jelas dalam UUD 1945. Artinya bahwa patut untuk dipertanyakan apakah pernyataan tersebut secara tidak langsung menuduh bahwa konstitusi telah mengatur norma yang makar.

Karena konstitusi secara jelas mengatur mekanisme pemakzulan presiden yang disampaikan oleh setiap warga negara sebagai bagian dari hak konstitusional menyampaikan aspirasi terkait adanya dugaan pelanggaran presiden. Dengan pembuktian seberapa besar dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh Presiden, yang memiliki daya rusak terhadap negara?

Menanggapi pernyataan para pakar hukum, Dosen Fakultas Hukum Universitas Nasional (Unas) Jakarta Ismail Rumadan mengatakan, secara sederhana penyataan para pakar hukum tersebut menunjukkan adanya suatu kondisi dimana telah terjadi pemurtadan konstitusi. Sebab konstitusi telah dipaksa keluar dari tujuannya hanya karena mengikuti tafsir yang kabur dan kurang tepat dalam memahami konteks aspirasi warga negara.

“Mereka yang menyuarakan pemakzulan presiden lantaran hati dan logika telah terhalang oleh gelapnya tabir materialisme. Sehingga tidak objektif dalam melakukan penilaian terhadap isu pemakzulan presiden,” ujar Ismail Rumadan kepada INDOPOS.CO.ID, Kamis (25/1/2024).

Menurut dia, desakan pemakzulan presiden saat ini, bertujuan agar masyarakat tidak bingung dengan pemahaman para pakar yang memiliki ketinggian ilmu pengetahuan di bidang hukum. Pemahaman dan pandangan tersebut tidak lebih-kurang seperti mesin foto copy. Yang hanya sebatas mengkopi teks bacaan pada dokumen yang difoto copy tersebut.

“Analogi sederhananya adalah ibarat sebuah kendaraan bus yang mengalami rem blong (kerusakan pada rem) di saat kendaraan sedang melaju dengan cepat di jalan tol. Tindakan yang diambil oleh sang sopir untuk menyelamatkan para penumpang bus tentunya adalah mengarahkan arah mobil pada jalur-jalur darurat (jalur keselamatan) yang tersedia pada pinggiran jalan tol,” terangnya.

“Sebab tidak mungkin sang sopir tetap mengarahkan arah bus pada jalan normal, akibatnya bisa terjadi tabrakan beruntun yang membahayakan banyak orang dan memakan banyak korban,” imbuhnya.

Analogi sederhana di atas, masih ujar Ismail, menegaskan sebuah pemahaman bahwa isu pemakzulan presiden saat ini tidak bisa dipahami dalam pemahaman yang formalistik. Sebab ada kondisi dimana mekanisme konstitusi yang tersedia secara formal tidak memungkinkan untuk diterapkan secara normal. Lantaran terlalu berbelit dan sangat rumit, di saat yang sama instrumen dan kelembagaan negara yang tersedia secara formal tidak berfungsi lantaran tersandera dengan berbagai kepentingan politik pragmatis.

Sementara, lanjut dia, laju kerusakan negara akibat berbagai dugaan pelanggaran Presiden Jokowi semakin parah. Sehingga perlu mengambil langkah darurat untuk menghentikan gerak laju sang presiden, agar daya rusak negara yang ditimbulkan tidak menjadi besar.

“Sebagai warga negara yang baik, tanpa harus mendalami ilmu hukum lebih jauh secara formal sebagaimana para pakar di atas, namun juga dituntut untuk memahami dan menaati segala aturan hukum yang berlaku di republik ini,” katanya.

“Bahwa pemahaman secara sederhana terkait proses pemakzulan presiden harus berdasarkan konstitusi sebagai manifestasi terhadap negara berkedaulatan rakyat yang dilaksanakan pada UUD 1945 (constitutional democracy),” imbuhnya.

Ia mengatakan, dalam perspektif UUD 1945, proses pemakzulan Presiden dan/ atau Wakil Presiden harus diusulkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).

Namun sebelum proses pengajuan pemberhentian kepada MPR, terlebih dahulu DPR sebagai pihak yang mempunyai kedudukan hukum (legal standing) harus mengajukan permohonan kepada Mahkamah Konstitusi (MK).

Namun sebelum upaya tersebut dilakukan, lanjut dia lagi, DPR terlebih dahulu menggunakan hak angket sebagai upaya penyelidikan terhadap kebijakan Presiden yang diduga melakukan pelanggaran dan melampaui batas kewenangan sebagai presiden.

DPR kemudian menggunakan hak menyatakan pendapat sebagai pintu masuk DPR untuk mambawa Presiden kepada MK. MK kemudian mengadili dan memutuskan dugaan pelanggaran presiden tersebut. Selanjutnya putusan MK diserahkan kepada MPR untuk menggelar sidang paripurna memutuskan pemakzulan presiden.

Pemahaman sederhana tentang mekanisme formil yang tersedia dalam konstitusi tersebut di atas, menurutnya, menjadi upaya dan langkah yang sudah ditempuh untuk menyuarakan dan menyampaikan berbagai dugaan pelanggaran presiden. Sebagaimana diidentifikasi oleh Pakar hukum tata negara Prof Deny Indrayana seperti langkah pejabat negara melakukan upaya pembegalan partai politik.

Presiden menggunakan pengaruh kekuasaan (trading influencer) untuk kepentingan pebisnis keluarga presiden sebagaimana dilaporkan salah satu akademisi dari Universitas Negeri Jakarta, kemudian sikap tidak netralnya alias cawe-cawe presiden Jokowi dalam Pilpres 2024. Dan berbagai indikasi pelanggaran lain yang dapat dikualifikasi sebagai pelanggaran terhadap Pasal 7A UUD 1945, sebagaimana laporan Petisi 100 yang telah disampaikan secara langsung kepada DPR RI.

Namun upaya ini tidak mendapat tanggapan dari wakil rakyat (DPR) untuk menguji secara faktual melalui penggunaan hak angket yang melekat pada DPR, apakah dugaan tersebut terbukti atau tidak. Namun DPR malah mendiamkan dengan membiarkan dugaan pelanggaran presiden menjadi kontroversi di tengah masyarakat.

Sehingga dibutuhkan langkah-langkah lain sebagai langkah darurat yang dimungkinkan secara konstitusional, saat instrument negara secara formal sudah tidak lagi berfungsi.

Langkah-langkah darurat seperti konsolidasi berbagai elemen masyarakat, sebagaimana langkah yang dilakukan oleh Petisi 100 dan Poros transisi Indonesia berdialog dengan Kementerian Polhukam. Dan rencana akan melakukan dialog dengan Wakil Presiden yang membuka ruang diskusi dengan kelompok tersebut. Serta elemen dan komponen bangsa lain yang memiliki kesamaan persepsi dan pandangan dalam menyuarakan pemakzulan presiden sebagai suatu proses demokratisasi yang dijamin oleh UUD 1945.

“Langkah-langkah darurat ini diharapkan dapat menggugah dan mendorong DPR ataupun MPR untuk segera melakukan sidang paripurna dengan agenda pemakzulan presiden,” katanya.

Menurut dia, Indonesia sendiri memiliki cukup pengalaman dalam proses pemakzulan dengan mengunakan langkah-langkah darurat seperti, Presiden Soekarno, dimakzulkan setelah menjadi presiden selama dua puluh tahun. Pemakzulan ini tidak sesuai dengan UUD 1945, meskipun MPR yang menurunkannya secara resmi.

Kondisi tersebut terjadi karena secara de facto Soeharto memegang kekuasaan negara. Sehingga pemakzulan terhadap Presiden pertama ini dilakukan dengan cara ‘kudeta secara halus. Selanjutnya, Presiden Soeharto yang dimakzulkan dengan paksaan setelah secara de facto rakyat sudah tidak lagi mendukungnya. Demikian halnya juga dengan proses pemakzulan Presiden Abdurrahman Wahid.

“Persyaratan konstitusional tentang pemakzulan presiden yang diatur dalam UUD 1945 adalah suatu mekanisme hukum formil yang digunakan dalam kondisi normal, dimana semua elemen negara termasuk legislatif menjalankan fungsinya dengan baik dan bertanggung jawab,” katanya.

Namun realitasnya, lanjut dia, DPR tidak bisa menjalankan kewenangannya, tidak merespon aspirasi dari masyarakat lantaran tersandera oleh berbagai kepentingan politik pragmatis. Maka tidak ada langkah lain, selain langkah darurat dengan mengesampingkan mekanisme formil yang terkesan kaku dan menghambat substansi penegakan hukum secara materil.

“Secara substansial rakyatlah memiliki daulat atas negara ini, sistem yang tersedia hanyalah alat untuk mewujudkan daulat rakyat tersebut. Di saat sistem sebagai alat tidak lagi berfungsi. Maka sang pemilik daulat harus berteriak dengan suara lantang agar kedaulatan rakyat tidak dikhianati dan segera dikembalikan kepada pemilik daulat sesungguhnya,” tegasnya.

“Sebab pemegang amanah daulat rakyat telah salah arah, telah mangalami disorientasi dalam mengelola tujuan bernegara,” imbuhnya. (nas)

Exit mobile version