Aglomerasi Budaya Inti Masyarakat Jakarta Jadi Atensi di Revisi UU DKJ

Usni-Hasanudin

Ketua Program Studi Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) Usni Hasanudin. Foto: Istimewa

INDOPOS.CO.ID – Jakarta memiliki lima fungsi yang saling terkait, yakni fungsi ekonomi, sejarah, pertemuan sosial budaya, pusat politik dan pemerintahan, serta administratif yang kemudian diberikan kekhusuan sebagai Ibu Kota Negara.

Melihat hal tersebut, Ketua Program Studi Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) Usni Hasanudin menilai kondisi ini menjadi berbeda ketika kekhususan itu tercerabut dan akhirnya mempengaruhi lima fungsi lainnya.

“Berbeda kalau seandainya hanya fungsi ekonomi nasional yang dicabut atau dipindahkan, Jakarta tidak serumit ini dalam perubahan UU DKJ,” ujarnya, Kamis (21/12/2023).

Usni menilai, Jakarta bukan hanya soal ekonomi atau politik, tapi yang menjadi atensi di sini juga menyangkut seluruh aspek kehidupan masyarakat, terutama budaya inti masyarakat Jakarta.

Adanya kawasan aglomerasi sebagai kawasan perkotaan dalam konteks perencanaan wilayah yang menyatukan satu pusat pertumbuhan ekonomi nasional berskala global, jika tidak mengaitkan pada konteks budaya akan terjadi pergeseran nilai yang sangat merugikan Indonesia sebagai negara dengan suku bangsa yang beragam.

Usni mengatakan, pemerintah dan DPR dalam pembahasan UU Jakarta sebaiknya memberikan ruang ekspresi budaya agar kawasan aglomerasi yang dimaksud disertai juga dengan aglomerasi budaya yang dalam hal ini aglomerasi kebudayaan Betawi.

Jika melihat data penduduk, suku Betawi berjumlah 6.807.968 setara dengan 2,88 persen penduduk Indonesia. Kemudian dari jumlah tersebut, yang tinggal di Jakarta 2.301.587 jiwa atau 27,56 persen, selebihnya banyak yang tinggal di daerah yang menjadi aglomerasi ekonomi seperti Kabupaten Bogor, Kabupaten Tangerang, Kabupaten Bekasi, Kabupaten Cianjur, Kota Bogor, Kota Depok, Kota Tangerang, Kota Tangerang Selatan, dan Kota Bekasi.

“Oleh karena itulah perlunya dimasukan kepentingan budaya Betawi sebagi supporting dari aglomerasi ekonomi. Sehingga akan terintegrasi antara aglomerasi ekonomi dan budaya,” tuturnya.

Selain itu, Usni juga melihat pentingnya aglomerasi kebudayaan Betawi dalam perubahan UU Jakarta untuk mempertahankan nilai, adat dan budaya Betawi ketika ekonomi global terealisasikn.

Sebagai bagian dari Kaukus Muda Betawi, Usni menuturkan, indeks pembangunan kebudayaan di Jakarta dalam dimensi ekspresi budaya sangat rendah hanya 15,00 persen, ini disebabkan minimnya ruang terbuka untuk memajukan kebudayaan Betawi dan lainnya yang ada di Jakarta.

“Makanya aglomerasi budaya menjadi penting, bukan saja di kawasan sebagaimana dalam rancangan undang-undang, tetapi di setiap kecamatan yang ada di Jakarta memerlukan aglomerasi budaya untuk mengangkat indeks pembangunan budaya,” katanya. (rmn)

Exit mobile version