Pengamat: Terbukti Melanggar, Tolak Restrukturisasi Kredit Macet Titan

PT Titan Group

Ilustrasi

INDOPOS.CO.ID – Permohonan restrukturisasi kredit macet perusahaan batubara PT Titan Infra Energy (Titan) senilai USD 450 juta kepada sejumlah kreditur sindikasi, menurut Ketua Federasi Serikat Pekerja (FSP) BUMN Bersatu Arief Poyuono, sebaiknya tidak ditanggapi bahkan wajib ditolak oleh para kreditur.

Sebab, berdasarkan bukti yang dia miliki, hal itu adalah siasat mengelabui kreditur sekaligus menutupi dugaan tindak pidana penggelapan dan pencucian uang yang dilakukan manajemen Titan.

Salah satu bukti adalah fakta adanya pemberian dividen sebesar Rp 297,25 miliar kepada pemilik Titan, yang disisihkan dari laba 2021.

Pemberian dividen jumbo kepada pemilik Titan itu sangat keterlaluan, mengingat pada 2020, perusahaan tersebut tidak membayar cicilan kreditnya karena mengaku terkena dampak pandemi Covid19.

“Sungguh tak masuk akal, hanya selang setahun sejak berhenti mencicil utang karena mengaku bisnisnya terganggu pandemi Covid19, Titan mampu mencatat laba luar biasa besar bahkan memberikan dividen ratusan miliar kepada pemilik,” ucap Arief heran.

Pemberian dividen dari laba yang bernilai besar tersebut, menunjukkan bahwa perusahaan batubara itu dalam kondisi sangat sehat, dengan operasional yang berjalan normal.

Jauh berbeda dengan kondisi yang disampaikan manajemen Titan, belum lama ini. Seharusnya, jika debitur mencetak laba, maka wajib mengutamakan penyelesaian kewajibannya kepada kreditur, ketimbang memberikan dividen besar kepada pemilik.

“Jika karena tekanan Titan, kreditur melakukan restrukturisasi kredit macet perusahaan itu, sama saja Titan sukses mengelabui kreditur sebanyak dua kali. Sudah ngemplang membayar cicilan, kreditnya pun dikasih relaksasi,” ucap Arief tertawa.

Padahal, pemberian relaksasi kredit terkait program Pemulihan Ekonomi Nasional yang dilakukan pemerintah, bertujuan membantu perusahaan yang bisnisnya terancam bangkrut imbas pandemi Covid 19.

Sungguh tak pantas dan menginjak rasa keadilan, jika ada perusahaan yang pendapatannya triliunan rupiah, bahkan memberikan deviden ratusan miliar kepada pemilik, minta dibantu pemerintah dan minta kreditnya direstrukturisasi. Terlebih beban pemerintah sangat besar untuk memulihkan perekonomian bangsa.

Kerja keras industri perbankan nasional membantu pemulihan ekonomi nasional seolah justru hendak dimanfaatkan Titan dengan brutal. Arief memaparkan, saat Titan berhenti mencicil kreditnya pada 2020, perusahaan itu nyatanya masih mencatat pendapatan dari penjualan batubara sebesar Rp 3,3 triliun.

Tahun lalu, pendapatan dari penjualan batubara Titan meningkat tajam mencapai Rp 4,08 triliun. Namun, Arief menduga, pendapatan perusahaan tersebut sebenarnya bisa jadi jauh lebih besar.

Buktinya, pajak pertambahan nilai (PPN) yang disetor Titan pada tahun 2021 mencapai Rp 600 miliar. Logikanya, dengan PPN sebesar itu, maka revenue perusahaan seharusnya Rp 6 triliun, mengingat tarif PPN pada saat itu sebesar 10%. Namun, anehnya Titan mengaku hanya meraih total penjualan senilai Rp 4 triliun pada 2021.

“Selisih pendapatan sebesar Rp 2 triliun tersebut kemana. Dengan tidak adanya laporan keuangan audited, maka diduga kuat Titan berupaya menutupi besarnya pendapatan dan laba sesungguhnya yang diperoleh perusahaan, pasca kenaikan harga batubara dunia,” tegas Arief.

Selama tiga tahun, persisnya sejak 2019 (setahun sebelum Titan macet membayar cicilan kreditnya), hingga 2021, Titan memang tidak pernah menyampaikan laporan keuangan audited yang diaudit oleh auditor independen dan bereputasi baik kepada kreditur.

Hal itu melanggar klausul kesepakatan pada akad kredit yang disepakati dengan para kreditur sindikasi, terdiri dari: Bank Mandiri, Bank CIMB Niaga, Credit Suisse dan Trafigura. Diduga kuat, tidak adanya laporan keuangan audited lantaran manajemen Titan menutupi sejumlah kejanggalan yang melanggar kesepakatan dengan kreditur.

Termasuk kejanggalan pernyataan Titan bahwa kreditur bisa mengeksekusi asset-aset perusahaan yang menjadi jaminan kredit, untuk menyelesaikan kredit macetnya.

Menurut Arief, ditengah peningkatan harga batubara dunia dari 2019 sampai sekarang, yang berdampak pada peningkatan kinerja penjualan, dan torehan laba yang sangat bagus, justru tak masuk akal jika kreditur mengeksekusi asset perusahaan.

“Pelanggaran berikutnya adalah penggantian pengurus perusahaan baik di jajaran direksi maupun komisaris tanpa persetujuan kreditur. Para kreditur hanya mendapat pemberitahuan sepihak, hal itu jelas pelanggaran.

Dengan sejumlah pelanggaran yang disengaja itulah, wajar jika manajemen perusahaan ini diduga kuat melakukan tindak pidana penggelapan dan pencucian uang,” tutur Arief.

Arief meminta pemerintah dan masyarakat mengkritisi dalih dan permohonan manajemen Titan untuk mendapat restrukturisasi terhadap kredit macetnya.

Karena, jika restrukturisasi tersebut disetujui kreditur, tak hanya kreditur semata yang rugi. Pemerintah juga berpotensi mengalami kerugian, karena kredit macet Titan telah mengganggu upaya perbankan dalam memulihkan perekonomian nasional. (gin)

Exit mobile version