Sidang Gugatan SK Jokowi soal Pengangkatan Pj Gubernur Banten Masuk dalam Pokok Perkara

ptun

Ilustrasi Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Foto: Istimewa

INDOPOS.CO.ID – Majelis Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta kembali menggelar sidang gugatan Keputusan Presiden RI Joko Widodo atas pengangkatan Penjabat Gubernur Banten Al Muktabar, Rabu 27 Juli 2022.

Sidang yang berlangsung di ruang Cakra tersebut berlangsung singkat sekitar 10 menit mulai pukul 10.00 WIB. Hakim memeriksa kelengkapan berkas gugatan dari Penggugat Rizki Aulia Rohman, Ketua Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia (Permahi) Banten yang didampingi Kuasa Hukum Raden Elang Yayan Mulyana serta Satria Pratama.

Usai sidang, Raden Elang Yayan Mulyana mengatakan, hakim PTUN Jakarta menyatakan berkas gugatan Penggugat telah sempurna.

“100 persen sudah dinyatakan sempurna, dan akan masuk pada sidang pokok perkara pada Rabu, 3 Agustus 2022,” ujarnya.

Kemudian, sidang berikutnya dijadwalkan pada Rabu, 10 Agustus 2022 dengan agenda jawaban dari Tergugat.

“Lalu agenda berikutnya replik dan duplik pada 18 dan 24 Agustus 2022,” terangnya.

Satria menambahkan, pihaknya optimistis akan memenangkan gugatan Kepres Nomor 50/P Tahun 2022 tentang Pengangkatan Penjabat Gubernur Al Muktabar. “Kami yakin Hakim akan mengabulkan gugatan kami,” katanya.

Kemudian, kata Satria, Al Muktabar sendiri yang diwakili Biro Hukum Pemerintah Provinsi Banten menyatakan tidak ikut menjadi para pihak.

“Hakim sudah menerima keterangan dari Biro Hukum Pemprov Banten yang isinya tidak ikut menjadi pihak, mereka menyerahkankan sepenuhnya kepada Tergugat,” katanya.

Sidang gugatan tersebut telah berlangsung sejak Rabu, 13 Juli 2022. Gugatan tersebut teregister di PTUN Jakarta dengan nomor 202/G/2022/PTUN.JKT.

Rizki Aulia Rohman selaku Penggugat menyatakan bersyukur karena gugatannya secara administrasi telah lolos di PTUN Jakarta.

“Ini adalah langkah awal, untuk menegakkan supremasi hukum secara konstitusional. Sehingga praktik-praktik perampasan hak konstitusi tidak lagi terjadi di masa yang akan datang,” katanya.

Menurutnya, berdasarkan analisa hukum tim Pengacara dari Raden Elang Mulyana Law Office, pengisian kekosongan jabatan kepala daerah melalui pengangkatan penjabat Gubernur tidak boleh mengabaikan prinsip-prinsip demokrasi dan sekaligus memberikan jaminan bagi masyarakat bahwa mekanisme pengisian penjabat berlangsung terbuka, transparan, dan akuntabel untuk menghasilkan pemimpin yang kompeten, berintegritas, sesuai dengan aspirasi daerah serta bekerja dengan tulus untuk rakyat dan kemajuan daerah.

Kemudian, Penggugat telah dicederai dan hilang hak konstitusionalnya akibat dari diterbitkan Kepres Nomor 50/P Tahun 2022 akibat adanya penyimpangan terkait dengan Pengangkatan Penjabat Gubernur (PJ) Gubernur Banten merupakan suatu pelanggaran konstitusional, karena belum diatur secara hukum tentang mekanisme Pengangkatan Penjabat Gubernur oleh Kementerian Dalam Negeri sehingga bertentangan dengan asas kepastian hukum.

“Karena Permendagri No.74 tahun 2016 tentang Pedoman Mengangkat Pelaksana Tugas (PLT) Kepala Daerah hanya mengatur tentang Plt (Pelaksana tugas) Kepala Daerah, karena alasan cuti Pilkada atau tersangkut dengan masalah hukum berkekuatan hukum tetap, akan tetapi faktanya Penjabat Gubernur Banten telah habis masa jabatannya, hal ini akan berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum pada setiap kebijakan yang akan diambil,” katanya.

Rizki juga mengatakan, pengangkatan Penjabat Gubernur Banten tanpa melalui mekanisme yang terbuka, transparan, dan demokratis serta tidak disertai petunjuk teknis, tidak melaksanakan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 15/PUU-XX/2022.

“Putusan MK tersebut menegaskan bahwa proses pengisian kekosongan jabatan kepala daerah juga masih dalam ruang lingkup pemaknaan ‘secara demokratis’ sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945. Oleh karenanya, perlu menjadi pertimbangan dan perhatian bagi pemerintah untuk menerbitkan peraturan pelaksana sebagai tindak lanjut Pasal 201 UU 10/2016,” katanya.

Selain itu, dengan peran sentral yang dimiliki oleh kepala daerah dan wakil kepala daerah serta dengan mempertimbangkan lamanya daerah dipimpin oleh penjabat kepala daerah maka perlu dipertimbangkan pemberian kewenangan penjabat kepala daerah dalam masa transisi menuju Pilkada serentak secara nasional yang sama dengan kepala daerah definitif.

“Sebab, dengan kewenangan penuh yang dimiliki penjabat kepala daerah yang ditunjuk maka akselerasi perkembangan pembangunan daerah tetap dapat diwujudkan tanpa ada perbedaan antara daerah yang dipimpin oleh penjabat kepala daerah maupun yang definitif, hal ini dapat memicu terjadinya praktik-praktik maladministrasi karena Penjabat Gubernur Banten melakukan tindakan atau kebijakan di luar kewenangannya yang berdampak pada kerugian bagi masyarakat Banten,” terangnya.

Rizki juga menyinggung soal Laporan Akhir Hasil Pemeriksaan Ombudsman RI yang menyertakan adanya dugaan Maladministrasi dalam Proses Pengangkatan Penjabat Kepala Daerah Nomor Register: 0583/LM/VI/2022/JKT,

“Bahwa berdasarkan UU Nomor 7 tahun 2008 tentang Ombudsman RI Pasal 38 ayat (1) Terlapor (Kemendagri) dan atasan Terlapor (Presiden RI) wajib melaksanakan rekomendasi Ombudsman, jika tidak akan berkonsekuensi hukum berupa sanksi administrasi dan bisa dibatalkan oleh PTUN,” pungkasnya.(yas)

Exit mobile version