Mundurnya Kader Parpol Dinilai Indikasi Praktik Demokrasi Prosedural

Mundurnya Kader Parpol Dinilai Indikasi Praktik Demokrasi Prosedural - emrus - www.indopos.co.id

Pakar komunikasi politik (komunikolog) dari Universitas Pelita Harapan (UPH) Dr. Emrus Sihombing. Foto: Istimewa

INDOPOS.CO.ID – Fenomena mundurnya kader partai politik (parpol) tertentu merupakan indikasi bahwa demokrasi yang dibangun di internal parpol tersebut bukan demokrasi substansial melainkan demokrasi prosedural. Semua kebijakan terkesan sesuai prosedur atau aturan partai tetapi faktanya hanya berdasarkan kehendak atau keinginan segelitir elit partai.

“Dalam mengelola parpol, yang dikedepankan bukan kalkulasi bisnis untung rugi tetapi bagaimana demokrasi substansial itu ditanam dan diasah sehingga semua kader merasa satu visi dan misi serta menjaga aspirasi konstituen. Partai harus mendengar dan menampung suara dari grassroot tidak hanya kader partai itu sendiri tetapi juga dari simpatisan dan masyarakat sebagai pengikut,” ujar pakar komunikasi politik (komunikolog) dari Universitas Pelita Harapan (UPH) Dr. Emrus Sihombing kepada indopos.co.id, Senin (12/12/2022).

Emrus mengemukakan, pendekatan yang selalu ditonjolkan parpol selama ini adalah top down bukan bottom up. Bahkan dalam pendirian parpol, yang dibentuk pertama adalah Dewan Pengurus Pusat (DPP) baru di tingkat provinsi, kabupaten/kota hingga kecamatan.

Menurut Emrus, mundurnya kader dari parpol tertentu merupakan indikator persoalan yang ada dalam parpol itu sendiri.

“Kalau ada yang berpendapat bahwa mundurnya satu atau dua kader tidak masalah, karena akan ada penggantinya beberapa kali lipat. Perlu diingat, parpol bukan lembaga bisnis. Parpol adalah lembaga politik yang membutuhkan trust dari publik. Mundurnya satu atau dua kader akan meruntuhkan trust publik terhadap parpol tersebut. Hal negatif akan menyebar lebih cepat ketimbang hal positif. Mundurnya kader berarti telah terjadi persoalan di tubuh partai tersebut,” kata Emrus.

Emrus enggan menyebut nama parpol tertentu. Namun, Emrus menegaskan, pola-pola sentralistik dalam mengambil keputusan dan kebijakan parpol akan menimbulkan masalah dan hilangnya kesolidan antarkader. Dampak selanjutnya, kata Emrus, tergerusnya trust publik atau masyarakat sebagai pemilih.

Secara terpisah, pengamat politik Dedi Kurnia Syah mengatakan mundurnya kader di partai mapan seperti Nasdem bisa disebabkan oleh akomodasi politik bukan ideologi atau visi misi partai.

“Partai tentu memiliki keteguhan keputusan yang diambil elit, kader seharusnya patuh, terlebih jika yang mundur hanya kader di tingkat bawah, bukan pengambil kebijakan,” kata Dedi.

Tetapi, bagi partai baru, lanjut Dedi kader mundur adalah tokoh yang memiliki keputusan, bisa jadi masalah ada pada partai.

“Meskipun sah saja kader partai berganti tempat mengekspresikan kepentingan politiknya,” ungkap Dedi.

Menurut Dedi, mundurnya kader dari parpol tertentu bukan hal baru, bahkan partai sekaliber Golkar, Demokrat, Gerindra, juga alami hal sama utamanya saat kontestasi kepemimpinan elit partai. (dam)

Exit mobile version