INDOPOS.CO.ID – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengapresiasi putusan hakim dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi berupa penerimaan hadiah atau janji terkait pemberian izin usaha pertambangan di Kabupaten Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan. Hal ini artinya dakwaan yang disampaikan KPK terbukti di persidangan.
Hakim telah memutus terdakwa eks Bupati Tanah Bumbu, Mardani H. Maming terbukti bersalah dan memvonis 10 tahun penjara serta denda Rp500 juta subsider 4 bulan kurungan badan. Mardani Maming juga diharuskan membayar uang pengganti senilai Rp110,6 miliar.
“Penanganan perkara di sektor pertambangan ini selaras dengan lima fokus area pemberantasan korupsi yang dicanangkan KPK. Yakni korupsi pada sektor bisnis, politik, penegakan hukum, layanan publik, serta korupsi yang terkait dengan sumber daya alam (SDA),” kata Juru Bicara Bidang Penindakan dan Kelembagaan KPK Ali Fikri, Senin (13/2/2023).
Korupsi pada kelima sektor tersebut, lanjutnya, menyangkut hajat hidup orang banyak, mempunyai tingkat risiko korupsi yang tinggi, serta berpotensi mengakibatkan kerugian besar pada keuangan negara ataupun perekonomian nasional.
“Pada sektor SDA, KPK telah melakukan berbagai kajian untuk mengurai permasalahan tata kelola dari hulu hingga hilir. Melalui sinergi dengan para pemangku kepentingan, KPK bahkan tidak hanya mengidentifikasi titik kerawanan korupsi pada sektor pertambangan saja, tapi juga mencakup sektor perkebunan, kehutanan, hingga SDA laut,” tambah Ali.
Intervensi KPK pada sektor sumber daya alam (SDA) khususnya pertambangan sudah dilakukan dalam waktu yang cukup lama. Tahun 2011, KPK pertama kali melakukan jajian pada sektor tersebut. Pada saat itu, KPK melakukan kajian pengusahaan batu bara.
Bentuk intervensi KPK tidak hanya berhenti dengan rampungnya kajian tersebut. Upaya dengan cakupan lebih besar bahkan KPK lakukan melalui kegiatan Korsup Minerba dengan menggandeng lintas kementerian dan lembaga terkait untuk memperbaiki tata kelola sektor ini.
Permasalahan yang ditemukan pada kegiatan koordinasi dan supervisi (Korsup) mineral dan batu bara (minerba) tersebut antara lain penataan perizinan, permasalahan penjualan dan ekspor yang tidak valid, rendahnya kepatuhan para pelaku usaha. Kompleksnya temuan pada kegiatan korsup tersebut, mendorong KPK untuk kembali melakukan kajian.
KPK kemudian kembali melakukan kajian pengawasan mineral dan batu bara pada tahun 2019 dengan ruang lingkup dan fokus yang lebih spesifik. Hal ini mengingat minerba merupakan salah satu sektor andalan pemerintah dalam hal penerimaan negara. Sehingga negara penting untuk memastikan kebijakan pada sektor minerba tepat, agar mampu memaksimalkan potensi SDA untuk sebesar-besarnya bagi kesejahteraan rakyat.
Untuk diketahui, Indonesia pernah mengalami masa booming perizinan pada sektor minerba. Kondisi tersebut terjadi ketika kebijakan otonomi daerah mulai berlaku tahun 2001. Jumlah izin pada sektor mineral dan batu bara meningkat dari sekitar 700-an pada tahun 2001 menjadi sekitar 10 ribuan pada tahun 2010.
Faktor yang mendasari fenomena membludaknya izin pertambangan ialah lahirnya PP Nomor 75 Tahun 2001 yang memberikan kewenangan pengelolaan sektor minerba kepada pemerintah daerah (pemda) di tingkat kabupaten/kota sehingga menyebabkan ketidaksinkronan dengan UU sektor minerba kala itu.
Pemda seakan berlomba-lomba mengeluarkan izin pertambangan dengan dalih pembangunan dan investasi di daerahnya. Di satu sisi ternyata kebijakan tersebut justru menghasilkan kerusakan alam karena kegiatan pertambangan tidak dilakukan dengan kaidah good mining practice.
Pemerintah pusat tidak dapat melaksanakan pengawasan secara optimal karena rentang birokrasi dan kewenangan yang terlalu jauh. Akibatnya fungsi pengawasan menjadi lemah bahkan cenderung tidak optimal. Salah satu indikator tersebut ialah rendahnya kepatuhan jaminan reklamasi.
Lahirnya UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemda kemudian menjadi arah baru pengelolaan sektor minerba di Indonesia. Kewenangan pengelolaan sektor minerba kembali menjadi domain pusat dan pemerintah provinsi.
Kajian pengawasan mineral dan batu bara pada tahun 2019 kemudian menemukan sejumlah permasalahan dalam tata kelola dan pengawasan mineral dan batubbara.
Pertama, permasalahan pada penataan perizinan sektor minerba, khususnya mengenai perbedaan data Izin usaha pertambangan antara pusat dan daerah.
Kedua, ialah rencana perpanjangan pada sejumlah PKP2B (Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara) berpotensi tidak sesuai dengan UU No. 4 Tahun 2009 tentang Minerba, terkait luasan wilayah kerja.
Ketiga, tidak optimalnya sistem monitoring produksi dan penjualan batu bara. Ditjen Minerba sudah memiliki aplikasi modul verifikasi penjualan (MVP), akan tetapi keandalan dan implementasi khususnya mengenai produksi, penjualan batu bara di daerah belum dapat dipastikan berjalan dengan baik.
KPK selanjutnya merekomendasikan sejumlah hal, yakni sebagai berikut: perpanjangan PKP2B dilakukan secara transparan dan akuntabel sesuai dengan UU No. 4 Tahun 2009 tentang Minerba; menyederhanakan dan mengintegrasikan seluruh sistem pengawasan/monitoring yang ada pada Ditjen Minerba; sistem monitoring produksi dan penjualan pada Ditjen Minerba agar terintegrasi dengan sistem/mekanisme monitoring lainnya di Kementerian/Lembaga terkait.
Selain itu, mengimplementasikan quantity assurance pada kegiatan verifikasi kualitas dan kuantitas penjualan batu bara; dan mendorong inventarisasi aset pada sejumlah PKP2B yang akan berakhir kontraknya oleh Direktorat Jenderal Kekayaan Negara Kementerian Keuangan dan Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
“KPK berharap dengan perbaikan tata kelola pengelolaan SDA dari hulu ke hilir ini, bisa memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi penerimaan negara, mensejahteraan masyarakat, serta terhindar dari praktik-praktik korupsi,” tutup Ali. (dam)