oleh: Dr. Ahmad Doli Kurnia Tandjung, Koordinator Majelis Nasional Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI)
Terus Melaju untuk Indonesia Maju! Itulah tema resmi Peringatan HUT Kemerdekaan Republik Indonesia ke-78 tahun 2023. Sebuah narasi positif dan optimistis, untuk membawa bangsa ini melangkah maju, sejajar dengan bangsa-bangsa lain. Sejumlah kemajuan telah diraih bangsa ini sejak Merdeka. Meski tentu saja selalu ada pekerjaan rumah yang harus diselesaikan oleh setiap pemimpin di masanya masing-masing. Pasalnya pembangunan bangsa merupakan never ending goals—keberkelanjutan, continuity.
Momen peringatan proklamasi tak cukup sekedar dimaknai dengan upacara bendera, lomba, maupun pesta. Lebih dari itu, kita membutuhkan perenungan mendalam untuk mengambil pelajaran dari masa lalu, dan menjadikannya best practices di masa depan kita. Salah satu isu yang mengemuka dalam beberapa tahun terakhir, terkait dengan kesalahpahaman kita dalam memisahkan antara “politik praktis” dengan “fakta sosial”. Sering kali keduanya bercampur dalam adonan yang tidak pas. Hasilnya, kohesi sosial bangsa merenggang, bahkan terbelah sejak 2014.
Fenomena framing atau stereotype aneh seperti Cebong, Kampret, dan kini Kadrun merupakan bentuk mengendurnya tali ikatan sosial kita. Pemilu dan Pilpres menyebabkan masyarakat menjadi korban dari tarik-menarik yang terjadi di level elit. Ironisnya, ketika para elit di atas sudah saling berpelukan (bahkan bergabung), masyarakat di bawah masih terbelah. Inilah yang harus kita sembuhkan, luka-luka akibat political game yang hanya sesaat. Akibat jangka panjangnya, kerap muncul kesalahpahaman, kecurigaan antar kelompok. Salah satunya seperti Islamophobia—suatu anomali di negara kita, negara berpenduduk mayoritas muslim.
Minim Literasi
Mengapa hal itu terjadi? Ada data menaik terkait dengan minat baca anak-anak muda terhadap sejarah yang rendah. Survei PISA 2018, menempatkan Indonesia berada ke 74 dari 79 yang diservei. Tentu rate ini tidak ideal, sehingga harapan Melaju untuk Indonesia Maju terasa penuh dengan tantangan. Tak hanya literasi umum, pun demikian pada literasi digital, di mana kita juga yang terendah di ASEAN.
Akibatnya netizen Indonesia tahun lalu mendapat predikat sebagai users internet paling tidak sopan se-Asia Tenggara (Digital Civility Index / DCI, Microsoft). Keengganan membaca dan melakukan riset sebelum mengeluarkan statement mengakibatkan hate speech dan hoax menjadi makanan kita sehari-hari. Dalam jangka panjang, fenomena ini akan menghasilkan tumbuhnya stereotype seperti di atas.
Berbicara tentang Islamophobia, hal tersebut tidak relevan bila melihat rekam jejak umat Islam dalam perjuangan kemerdekaan. Tentu bersama pejuang dari suku bangsa, etnik dan agama-agama lainnya yang ada di negeri kita tercinta. Melihat fakta historis dan sosial tersebut, para founding fathers secara sadar memasukkan unsur-unsur agama dalam konstitusi. Bahkan sila pertama Pancasila, “Ketuhanan yang Maha Esa” secara tegas mengirim pesan kepada dunia bahwa Indonesia adalah “negara beragama”. Negara yang menempatkan Tuhan (Agama) sebagai panduan etik dalam menjalankan relasinya dengan masyarakat.
Meski demikian, Indonesia tidak mendesain dirinya sebagai “negara agama” tertentu, karena sejarah awal Nusantara memanglah heterogen. Salah satunya, negara ini telah lama dihuni oleh sekian banyak penganut agama, suku, budaya yang berbeda. Jalan tengahnya adalah Pancasila, yang merupakan “kesepakatan relijius” dari berbagai agama untuk mendirikan negara merdeka. Momentum itu sekaligus menguatkan fakta, sebagaimana dikutip dari pernyataan Alamsyah Ratu Prawiranegara, mantan Menteri Agama, bahwa umat Islam terlibat aktif mendirikan negara yang prural ini. Itu terkonfirmasi ketika para pejuang Islam saat itu menyetujui dihapuskannya tujuh kata dalam Piagam Jakarta.
Fakta lain bahwa elite Islam tidak berniat membangun negara Islam di Indonesia juga terlihat dari sikap ulama-ulama Nusantara yang hadir di Konferensi Khilafah, Turki, 1924. Saat itu Indonesia diwakili oleh Abdul Karim Amrullah (ayah Buya Hamka) dan Muhammad Natshir. Sebagaimana ditulis Hamka dalam Ajahku : Riwajat Hidup Dr. H. Abdul Karim Amrullah dan Perdjuangan Kaum Agama di Sumatera (1958), dijelaskan bahwa saat itu delegasi Hindia Belanda tidak tertarik dengan ide khilafah. Sebaliknya, kita memantapkan diri membangun negara yang menempatkan agama sebagai “sinar terang pemandu jalan”, yang diformalkan dalam Pancasila.
Setelah sekian dekade, masih saja terdapat fallacy of thinking atau kesalahan berfikir kolektif yang alami atau by design. Misalnya terkait dengan isu politik identitas dan identitas politik. Kita sepakat politisasi identitas adalah cara berpolitik yang tidak cerdas, berbahaya dan kampungan. Pasalnya dengan mempolitisasi identitas kultural yang given atau private untuk tujuan politik elektoral, sama dengan menghancurkan bangunan republik yang sejak awal bertumpu pada keberagaman. Kita sepakat untuk menolak itu.
Identitas dan Politisasi Identitas
Namun di saat yang sama kita juga harus bisa memisahkan antar keduanya, bahwa identitas politik berbeda dengan politik identitas maupun politisasi identitas. Jangan sampai keengganan kita untuk berfikir kritis, malas membaca—sebagaimana survei PISA di atas—menyebabkan bangsa ini terjerembab dalam stigma dan dogma. Virus yang membuat kita “tidak akan kemana-mana”, di tengah persaingan global yang kian ketat.
Dalam khasanah sosiologi politik, dikenal apa yang disebut sebagai in-group feeling, yaitu preferensi pilihan politik berdasar kesamaan latar belakang. Setiap saat kita mengalaminya. Misalnya saat musim pemilu, para caleg parpol cenderung memilih bertarung di daerah asalnya. Jarang sekali caleg dari Jawa misalnya, bertarung di Papua. Atau caleg asal Bali dicalonkan di Aceh—sulit menemukan rasionalisasinya. Dengan berkompetisi di daerah asal atau wilayah yang memiliki irisan kultural (identitas) dengan caleg tersebut, terasa ada passion untuk memperjuangkan kepentingan pemilihnya.
Dengan kata lain identitas politik memiliki pijakan historis dalam demokrasi. Sistem yang secara sadar memberi ruang kepada semua identitas (agama, ideologi, suku, aliran politik, mazhab ekonomi, dll) untuk saling berdialektika secara beradab. Meminjam istilah Karl Marx—tesa yang di-challenge dengan anti-tesa, pada akhirnya akan menghasilkan sintesa.
Maka sekali lagi penulis mengajak, dengan usia Republik yang sudah makin dewasa ini, kita harus berani berbicara substansi, tidak hanya cover dan gimmick politik. Diskursus tentang isu-isu sensitif yang selama ini “mengganggu” juga mesti dibuka secara luas—namun dengan pijakan ilmu pengetahuan. Hal ini gar masyarakat mendapat pemahaman yang utuh, bukan hanya retorika, apalagi propaganda. Hanya dengan cara demikian, republik ini akan tegak hingga ribuan tahun, jutaan tahun ke depan, karena tidak ada sejarah yang ditutupi, dibiaskan, maupun digunaan untuk kepentingan sesaat. Merdeka!. (*)