Mahasiswa Gelar Mimbar Bebas, Khawatirkan Netralitas Aparat di Pemilu 2024

siswa

Sejumlah mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Mahasiwa Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, menggelar mimbar bebas. Foto: Dok Mahasiswa UIN Jakarta

INDOPOS.CO.ID – Ratusan mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Mahasiwa Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, menggelar mimbar bebas di depan Sekretariat Dewan Mahasiswa (DEMA) dan Senat Mahasiswa (SEMA) UIN Jakarta, Jumat (29/12/2023).

Mimbar bebas digelar sebagai bentuk keprihatinan dan kekecewaan mahasiwa UIN Jakarta, melihat perkembangan praktik demokrasi di ujung pemerintahan Presiden Joko Widodo.

Ketua BEM UIN Jakarta Muhamad Abid Al Akbar mengaku kekecewa terhadap praktik dan upaya untuk membunuh demokrasi, diduga mengintervensi Mahkamah Konstitusi meloloskan anak presiden menjadi calon wakil presiden.

“Pelanggaran etik yang serius dan dilakukan secara sistematis, jelas telah merusak dan mengancam keadaban demokrasi kita,” kata Abid dalam keterangannya, Jakarta, Jumat (29/12/2023).

Ia menilai, pelanggaran etika itu dipertontonkan tanpa rasa bersalah. Sehingga terjadi ironi dan malapetaka. Terlebih dibayangi ancaman netralitas pemilu 2024.

“Bangsa Indonesia tengah diterpa malapetaka dan bahaya, ketika elit yang melakukan pelanggaran etika justru merasa dirinya sebagai korban serangan politik,” ucap Abid kecewa.

Pakar ekonomi Faisal Basri menyebut, kemunculan dinasti politik mempersulit harapan agar Pemilu berlangsung netral. Sentralisasi kekuasaan dalam dinasti politik dianggap sebagai ancaman terhadap nilai-nilai demokrasi.

Menurutnya, pemerintah Joko Widodo (Jokowi) selama dua periode meninggalkan begitu banyak warisan kegagalan.

“Pak Jokowi selama hampir 10 tahun terbukti pertumbuhan ekonomi itu menurun, periode pertama 5 persen, periode kedua 3,5 persen,” kritik Faisal dalam kesempatan yang sama.

Menurutnya, tidak hanya pertumbuhan ekonomi yang terjun bebas, tapi juga hutang Indonesia yang terus naik, dari Rp3.000 triiun menjadi Rp8.000 triliun

“Saking banyaknya utang kita, pemerintah sampai gak punya uang untuk bayar bunga utang, jadi buat bayar bunga hutang harus dengan hutang lagi,” keluhnya. (dan)

Exit mobile version