Soal Pencemaran Karimun Jawa, Komnas HAM Terjebak Netizen Tribunal

karimun

Di sekitaran tambak udang di Karimun Jawa, tanaman mangrove tumbuh subur karena suplai nutrisi dari buangan tambak. (Foto: dok Masyarakat Akuakultur Indonesia/MAI)

INDOPOS.CO.ID – Ironis, saat akademisi gencar meminta aparatur menghentikan kriminalisasi terhadap petambak udang, Komnas HAM justru menuding mereka sebagai biang keladi kerusakan lingkungan di Karimun Jawa.

Di tengah gencarnya seruan kalangan akademisi yang meminta agar aparat penegak hukum menghentikan kriminalisasi terhadap petambak udang pada kasus pencemaran lingkungan di Karimun Jawa, Komnas HAM secara mengejutkan justru menyebarluaskan siaran pers yang sangat menyudutkan para petambak.

Dalam siaran persnya, Komnas HAM secara langsung menuding para petambak udang sebagai biang keladi kerusakan lingkungan hidup secara meluas dan berkepanjangan.

Siaran pers bertanggal 6 April 2024 nomor 21/HM.00/IV/2024 itu diteken oleh Koordinator Subkomisi Penegakan HAM Uli Parulian Sihombing.

Siaran pers itu dibuat sebagai respons atas putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jepara yang menjatuhkan vonis tujuh bulan penjara kepada Daniel Fritz Maurits Tangkilisan, atas perkara UU ITE menyangkut ujaran kebencian terhadap suku, agama, ras, serta antargolongan masyarakat (SARA), dalam hal ini masyarakat Karimun Jawa.

“Pada pokoknya, Komnas HAM menyampaikan pendapat HAM bahwa keberadaan tambak udang telah menimbulkan pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup secara meluas dan berkepanjangan di pesisir Pulau Karimun Jawa dan negara memiliki kewajiban untuk melindungi penikmatan hak asasi manusia dari degradasi kualitas lingkungan hidup, terutama terhadap pencemaran udara dan air,” ujar Uli Parulian Sihombing, dalam siaran persnya.

Penilaian sepihak Komnas HAM tanpa dilandasi riset atas kondisi di lapangan di pesisir Karimun Jawa itu beredar luas hanya berselang beberapa hari setelah kalangan akademisi dan praktisi lingkungan menyerukan agar aparat Penegakan Hukum (Gakkum) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan berhenti bertindak ceroboh dalam menangani kasus pencemaran lingkungan di perairan Karimun Jawa.

Para akademisi merasa cemas, jika pengambilan sampel air laut dan penanganan atas sampel tersebut tidak mendasarkan pada pendekatan ilmiah, hasilnya tidak akan maksimal dan malah menempatkan para petambak pada posisi terkriminalisasi.

“Di area perairan atau laut lepas, amatlah mustahil aparat bisa menarik kesimpulan sahih hanya dengan melakukan pengujian kualitas air yang hanya satu kali dan satu titik sampling. Hal ini mengingat kualitas air dilihat dari semua parameter memiliki dinamika temporal mengikuti siklus harian, musiman, pasang surut, turbulensi, serta dinamika spatial mengikuti batimetri, jarak dari garis pantai, posisi terhadap ujung teluk dan tanjung, serta proses rekresi dan akresi garis pantai,” ujar mantan pejabat birokrasi sektor perikanan yang kini menjabat Manajer Produksi tambak PT Kerta Arnawa Jaya Ir IBM Suastika MSi.

Menurut Suastika, dengan melancarkan tuduhan pencemaran serta perusakan lingkungan kepada petambak Karimun Jawa tanpa dilandasi studi ilmiah, Komnas HAM telah merendahkan posisinya dan terjebak dalam fenomena netizen tribunal seperti yang kerap dijumpai di media sosial. “Ini seperti apa yang digambarkan Pak Dahlan Iskan sebagai fenomena kebenaran baru. Setiap orang (di media sosial) bisa bicara apa saja, tanpa perlu memiliki kapasitas atau penguasan bidang ilmu pengetahuan tertentu. Namun, pada akhirnya masyarakat akan mempertanyakan persoalan kredibilitas. Dalam situasi seperti ini, lembaga sebesar Komnas HAM juga bisa kehilangan kredibilitas di mata publik,” tandas Suastika.

Warga Butuh Dilindungi

Siaran pers Komnas HAM tersebut juga disesalkan oleh warga Karimun Jawa yang merasa sangat dirugikan oleh perbuatan Daniel Fritsz Maurits Tangkilisan.

Pasalnya, meski vonis bersalah telah dijatuhkan majelis hakim, Komnas HAM dalam siaran pers tersebut tetap menyuarakan pembelaan kepada Daniel sebagai korban kriminalisasi dan tindakan strategic lawsuit againts public participation (SLAAP). SLAAP dipahami sebagai langkah gugatan atau laporan pihak tertentu dengan tujuan menghentikan partisipasi publik baik individu atau organisasi nonpemerintah.

Ridwan, warga pelapor atas perkara ujaran kebencian yang menjerat Daniel, memaparkan perasaan sedih dan galaunya atas sikap berat sebelah yang diperlihatkan Komnas HAM dalam perkara yang sudah divonis itu. Dia mengingatkan, masyarakat Karimun Jawa juga membutuhkan perlindungan Komnas HAM dari ancaman pencideraan atas hak-hak dasar sebagai manusia, yakni hak untuk hidup layak, hak untuk dihormati adat istiadatnya, serta hak untuk menjalankan ibadah dan memiliki rumah ibadah tanpa mendapatkan halangan apalagi penghinaan dari pihak manapun.

Masyarakat Karimun Jawa, ujar Ridwan, memiliki adat-istiadat sangat menghargai perbedaan dan keberagaman. Penduduk asli tidak pernah memperlakukan kaum pendatang sebagai orang asing, tidak pernah membeda-bedakan. Apalagi mereka yang datang ke Karimun Jawa dengan maksud menjaga kelestarian lingkungan, pasti akan mendapatkan perlakuan yang terhormat.

“Jadi, kami bukan melaporkan aktivis lingkungan hidup. Melainkan melaporkan pelaku ujaran kebencian. Kalau ketika itu pelakunya sopir taksi, petambak, pekerja wisata, bahkan aparat penegak hukum sekalipun, pasti tetap kami laporkan juga,” tandas Ridwan.

Komnas HAM pun diminta untuk membaca secara lengkap unggahan ujaran kebencian yang ditebar Daniel dan memicu perkara pidana UU ITE di laman Facebook-nya. Secara lengkap, pernyataan itu berbunyi: “Masyarakat yang menikmati tambak, seperti udang gratis, masjid, musala, lapangan voli dibangun duit petambak, itu persis kaya ternak udang itu sendiri. Dipakani (diberi makan) enak, banyak, dan teratur untuk dipangan (dimakan). Mereka ga (tidak) sadar sumber pencaharian dan diri mereka sendiri sedang dipangan (dimakan). Deloki (lihat saja) akibatnya ga (tidak) lama lagi.”

Tudingan Komnas HAM ihwal terjadinya SLAAP, juga dinilai warga Karimun Jawa, sebagai tindakan yang berlebihan. Dipaparkan oleh Ridwan, segera setelah munculnya ujaran kebencian itu, warga dalam jumlah cukup banyak berkumpul dan mencari Daniel guna meminta penjelasan atas maksud dari pernyataan yang diunggahnya melalui media sosial. Sebagian warga melacak keberadaan Daniel hingga ke Jepara, sebagian lainnya menunggu di dermaga pelabuhan dan lapangan udara.

“Akhirnya Daniel kami temukan di dermaga bersama beberapa orang temannya. Kami tanyakan apa maksud tulisannya di media sosial yang menyamakan masyarakat Karimun Jawa dengan binatang ternak udang. Kami juga menanyakan maksud Daniel mengaitkan tempat ibadah masjid dan musala dengan kisruh tambak udang. Warga juga sempat menanyakan apakah dia mau meminta maaf untuk menyelesaikan masalah. Menanggapi itu, Daniel malah diam saja,” ujar Ridwan.

Hingga akhirnya seorang rekan Daniel, yang diketahui bernama Datang, justru membubarkan warga dan mempersilakan warga menempuh jalur hukum kalau merasa tidak puas. “Permintaan pihak Daniel itu kontan kami penuhi. Bayangkan saja. Kami marah karena merasa terhina, lantas kami cari orangnya beramai-ramai dan berhasil kami temukan di lokasi publik. Namun, pilihan kami adalah menempuh jalur hukum, bukan kekerasan. Itupun atas permintaan pihak Daniel sendiri. Kalau langkah kami tetap dianggap salah oleh Komnas HAM, kami tidak tahu lagi harus bagaimana sebagai warga negara,” tandas Ridwan. (srv)

Exit mobile version