Meski Sudah Dikunjungi Anies-Cak Imin dan Elite PKB, Pengamat: Masih Ada “Puzzle” di PKS

Meski Sudah Dikunjungi Anies-Cak Imin dan Elite PKB, Pengamat: Masih Ada "Puzzle" di PKS - anies cak imin pks - www.indopos.co.id

Presiden PKS Ahmad Syaikhu mendampingi Capres-Cawapres Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dalam agenda Silaturahmi Kebangsaan di Kantor DPTP PKS, Jakarta, Selasa, (12/9/2023). Foto: Dok. PKS

INDOPOS.CO.ID – Direktur Eksekutif Center for Strategic on Islamic and International Studies (CSIIS) Dr Sholeh Basyari, blak-blakan menyebut koalisi pengusung AMIN (Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar) sebagai koalisi ringkih.

Bahkan Dosen Pascasarjana Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (UNUSIA) ini, menyebutnya sebagai koalisi di atas kertas, tidak akan berjalan di lapangan.

“Banyak faktor. Anda bisa melihat sendiri jalan terjal PKS. Di sisi lain, Anda bisa mengamati ketidakhadiran tokoh PKS seperti Dr Hidayat Nur Wahid (HNW),” tegas Dr Sholeh Basyari, pengamat politik santri kepada indopos.co.id, Rabu (13/9/2023).

Memang, jelasnya, rombongan capres-cawapres Anies-Imin sudah mendatangi Kantor DPP PKS. Bahkan mars NU ‘Ya Lal Wathon’ diputar saat itu. Terlebih menurut shohibul bait (tuan rumah), pertemuan itu bertitel silahturahmi kebangsaan.

“Tetapi, tetap saja sikap PKS ini belum memaklumatkan ke publik atas Muhaimin. Masih menyisakan sejumlah puzzle (pertanyaan alias tebakan). Penundaan bisa terkait teknis pengambilan keputusan majelis Syuro yang beranggotakan 99 tokoh. Bisa pula buying time untuk menjamin kepastian ghonimah (mahar) dan fai’ (pungutan dan setoran rutin) atau penolakan yang smooth kepada Imin,” urainya.

Menurut Dr Sholeh, ada banyak catatan, perlu mendapat perhatian. Pertama, mulai hal ringan, semacam tahlil serta sub-kultur lain yang menjadi pride bagi warga NU. “Di mata aktivis PKS ini adalah ‘aib dalam berislam. Di Jombang misalnya, seorang Ketua RT bisa memobilisasi warganya akibat rebutan jadi pemimpin (imam) tahlil,” tegasnya.

Kedua, ucap Sholeh, Cak Imin menyebut hubungan PKB-PKS di parlemen selama ini baik-baik saja.

“Namun, sejumlah fakta bisa memverifikasi pernyataan ini, mulai dari keberhasilan PKB menggolkan undang-undang pesantren hingga gesekan PKB-PKS terkait komposisi badan dan komisi negara yang menyangkut hajat umat Islam BPKH, Badan Wakaf, BAZNAS. Ini jejak digitalnya jelas,” terangnya.

UU pesantren, ucap Sholeh, adalah legacy utama PKB yang dipandang PKS sebagai “pilih kasih”. Sejumlah catatan menjelaskan bahwa PKS menggerakkan badan kerjasama Pondok pesantren Seluruh Indonesia (BKsPPI) untuk mengajukan judicial review (JR) ke Mahkamah konstitusi (MK).

“Nah, demi merespon JR ini, PKB memobilisasi Rabithah Ma’ahid Islamiah (RMI), asosiasi pesantren NU, untuk menghadapinya. Ini fakta,” tambah Sholeh.

Ketiga, katanya, adalah aroma penolakan PKS atas Cak Imin tercium dengan tidak hadirnya ideolog utama PKS. Tokoh seperti Hidayat Nur Wahid tidak datang.

“Ketidakhadiran presiden PKS ketiga ini, mengisyaratkan belum adanya kesepakatan lebih “ideologis” antar PKB-PKS menyangkut agenda besar keumatan, termasuk Masyumi Reborn,” tambahnya.

Keempat, dalam catatan Dr Sholeh, dengan Masyumi Reborn, koalisi PKB-PKS potensial berubah menjadi kompetisi memperebutkan sebagai satu-satunya saluran politik Islam Indonesia.

“Saya yakin, keluarga besar NU akan melihat orang seperti Akmad Syaikhu, presiden PKS sekarang, ini adalah anak ideologis Ustadz Hilmy Aminuddin, alumnus Tebuireng, tokoh paling disegani kelompok Islam kanan setelah Sekarmaji Maridjan Kartosoewirjo, ideolog DI/TII,” pungkasnya. (dil)

Exit mobile version