Permenaker 5/ 2023, OPSI: Berikan Insentif, Bukan Malah Memotong Upah

Permenaker 5/ 2023, OPSI: Berikan Insentif, Bukan Malah Memotong Upah - pekerja indsutri otomotif - www.indopos.co.id

Ilustrasi pekerja industri otomotif. Foto: Dokumen INDOPOS.CO.ID

INDOPOS.CO.ID – Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) Timboel Siregar menilai, kondisi global menjadi tameng alasan untuk memotong upah pekerja. Keinginan pengusaha melakukan No Work No Pay sudah lama diajukan ke Menteri Ketenagakerjaan (Menaker).

“Lahirnya Permenaker 5/2023 ini merupakan legalisasi persetujuan No Work No Pay,” ungkap Timboel Siregar kepada INDOPOS.CO.ID, Sabtu (18/3/2023).

Ia mengungkapkan, merujuk undang-undang (UU) No 13 Tahun 2003 ketentuan No Work No Pay itu diterapkan bagi pekerja yang memang tidak mau bekerja. Bukan diterapkan pada perusahaan yang melakukan pembatasan kegiatan usaha.

“Jadi pembatasan kegiatan usaha dan pengurangan jam kerja tidak boleh mengurangi upah pekerja,” kata Timboel.

Menurut dia, Permenaker nomor 5 tahun 2023 ini akan menyebabkan upah pekerja di sektor padat karya Industri berorientasi ekspor akan dibayar di bawah ketentuan UMK yang berlaku.

“Mengenai jumlah jam kerja berkurang, ya silahkan saja tetapi upah tidak boleh di bawah upah minimum yang berlaku,” ujar Timboel.

“Pasal 88E ayat (2) UU Cipta Kerja melarang pengusaha membayar upah lebih rendah dari upah minimum. Jadi isi Permenaker nomor 5 tahun 2023 ini telah melanggar ketentuan Pasal 88E ayat (2) UU Cipta Kerja,” imbuhnya.

Sementara, lanjut dia, Pasal 7 UU Nomor 12 tahun 2011 mengatur tentang jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan. Bahwa menyatakan UU lebih tinggi dari Permenaker, sehingga Permenaker nomor 5 tidak boleh bertentangan dengan UU Cipta Kerja.

“Meskipun dalam Permenaker mensyaratkan adanya persepakatan antara pekerja/buruh dengan pengusaha, maka tetap tidak boleh pengusaha membayar upah di bawah upah minimum yang berlaku,” ucap Timboel.

“Perjanjian atau kesepakatan yang melanggar isi UU harus batal demi hukum,” imbuhnya.

Lalu, ujar dia, Pasal 9 ayat (1) yang menyatakan kesepakatan antara pengusaha dengan pekerja/buruh dapat dilakukan antara pengusaha dengan serikat pekerja (SP)/serikat buruh (SB) di perusahaan adalah bentuk peniadaan dan pengingkaran fungsi dan tugas SP/B yang diatur dalam UU Nomor 21 tahun 2000.

“Seharusnya kesepakatan yang dibangun adalah antara SP/SB dan pengusaha, bagi perusahaan yang ada SP/SB nya,” jelas Timboel.

Ia menegaskan isi Permenaker 5/2023 sangat rawan dimanfaatkan oleh perusahaan lain yang tidak sesuai ketentuan. Apalagi peran dan tugas Pengawas Ketenagakerjaan (Wasnaker) sangat lemah selama ini.

“Saya yakin Wasnaker tidak akan mampu mengidentifikasi perusahaan yang terdampak perubahan ekonomi global atau tidak,” terangnya.

Pemerintah apabila ingin peduli kepada perusahaan padat karya yang berorientasi ekspor yang terdampak pada ekonomi global, menurut dia, pemerintah harus memberikan insentif bagi perusahaan terdampak. Sehingga bisa menurunkan beban biaya perusahaan, seperti pemberian insentif pajak (penurunan nilai pajak badan, pajak ekspor, pajak penghasilan, dsb) dan bantuan lainnya.

“Bantuan ini bisa mendukung kegiatan operasional perusahaan seperti penjadwalan ulang pembayaran utang. Bukan malah menurunkan upah pekerja yang akan mempersulit pekerja/buruh mencapai penghidupan yang layak,” katanya.

Timboel meminta, agar Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) mencabut Permenaker 5/2023, karena akan menimbulkan permasalahan bagi kehidupan pekerja/buruh. Selain itu, Permenaker juga melanggar UU No. 13 Tahun 2003, UU Cipta Kerja dan UU No. 21 Tahun 2000.

“Pemerintah harus memberikan insentif pajak dan bantuan lainnya kepada perusahaan padat karya berorientasi ekspor yang memang terdampak kondisi global,” tuturnya.

Sebelumnya, Menteri Ketenagakerjaan pada 7 Maret 2023 lalu telah menetapkan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) nomor 5 Tahun 2023 tentang Penyesuaian Waktu Kerja dan Pengupahan pada Perusahaan Industri Padat Karya Tertentu Berorientasi Ekspor yang Terdampak Perubahan Ekonomi Global.

Inti dari Permenaker tersebut Pasal 7 menyatakan pemerintah menetapkan kebijakan penyesuaian upah pada perusahaan industri padat karya tertentu berorientasi ekspor yang terdampak perubahan ekonomi global dengan memperhatikan kondisi ekonomi nasional serta untuk menjaga kelangsungan bekerja dan kelangsungan berusaha.

Lalu dalam Pasal 8 membolehkan perusahaan industri padat karya tertentu berorientasi ekspor yang terdampak perubahan ekonomi global melakukan penyesuaian besaran Upah Pekerja/Buruh dengan ketentuan Upah yang dibayarkan kepada Pekerja/Buruh paling sedikit 75 persen dari upah yang biasa diterima.

Penyesuaian tersebut dilakukan berdasarkan kesepakatan antara pengusaha dengan Pekerja/Buruh. Pasal 9 ayat (1) menyatakan Kesepakatan antara pengusaha dengan Pekerja/Buruh dapat dilakukan antara pengusaha dengan serikat pekerja/serikat buruh di Perusahaan. (nas)

Exit mobile version