INDOPOS.CO.ID – Ketua Umum Pengacara Pajak Indonesia (Perjakin) Petrus, Loyani mengatakan pernyataan mengenai Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang telah memutuskan bahwa Pengadilan Pajak tidak lagi berada di bawah Kementerian Keuangan dan dialihkan ke Mahkamah Agung ini sebenarnya terlambat, namun demikian, tetap lebih baik daripada tidak adanya putusan ini. Hal ini terjadi setelah disahkan Undang-Undang Nomor 14/2002 tentang Pengadilan Pajak.
“Faktanya, Undang-Undang tersebut telah melanggar prinsip pembagian kekuasaan negara menurut sistem hukum Indonesia atau berdasarkan UUD 1945, yang melibatkan cabang eksekutif, legislatif, dan yudikatif secara kondisional atau tidak murni (saya menyebutnya sebagai ‘trias politica kondisional’, red). Dalam hal ini, Pengadilan Pajak, sebagai lembaga peradilan khusus dalam bidang pajak, ditempatkan di bawah kendali dua pihak, yaitu administrasi dan keuangan di bawah Kementerian Keuangan, dan aspek teknis yuridis di bawah Mahkamah Agung,” ujarnya.
Menurut dia, sistem peradilan dengan ‘dualisme tuan’ ini tidak pernah ada di semua negara yang menganut prinsip Trias Politica yang murni, kecuali di Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa prinsip trias politica di Indonesia tidak murni, seperti yang telah disebutkan sebelumnya.
“(Momen ketidakmurnian ini dapat kita bahas nanti, red) Dari fenomena ini saja, dapat dipahami seberapa aneh dan dominannya atau lebih tepatnya kelebihan kekuasaan Menteri Keuangan di Indonesia,” ujarnya.
“Bayangkan, hanya seorang Menteri Keuangan yang berarti hanya seorang pembantu presiden, memiliki kekuasaan atas lembaga peradilan, dan dengan demikian posisinya setara dengan Mahkamah Agung (MA) yang merupakan lembaga tinggi negara sejajar dengan lembaga presiden,” ungkapnya.
Petrus pun menyatakan fenomena tersebut memang telah melanggar prinsip-prinsip negara hukum, termasuk merendahkan Mahkamah Agung sebagai lembaga tinggi negara. Meskipun demikian, Presiden dan DPR telah sepakat untuk membuat Undang-Undang tersebut.
“Jika ditanyakan mengapa UU Pengadilan Pajak yang bertentangan dengan konstitusi dan prinsip negara hukum bisa disahkan, jawaban praktis dari orang-orang di bidang perpajakan umumnya mengatakan bahwa perpajakan adalah masalah yang kompleks, dan para hakim di Indonesia mungkin masih kurang memiliki pemahaman yang memadai tentang perpajakan,” tegasnya.
Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan untuk mengalihkan wewenang pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan Pengadilan Pajak dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu) ke Mahkamah Agung (MA). Keputusan tersebut diumumkan oleh Ketua MK Anwar Usman melalui siaran YouTube MK pada Kamis, 25 Mei 2023.
Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutuskan bahwa frasa “Departemen Keuangan” dalam Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 27, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4189) tidak sesuai dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat kecuali jika dimaknai sebagai “Mahkamah Agung yang secara bertahap dilaksanakan selambat-lambatnya pada 31 Desember 2026”.
Oleh karena itu, lanjut Anwar Usman, Pasal 5 ayat (2) UU 14/2002 sekarang berbunyi sebagai berikut “Pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan bagi Pengadilan Pajak dilakukan oleh Mahkamah Agung yang secara bertahap dilaksanakan selambat-lambatnya tanggal 31 Desember 2026.” (fer)