INDOPOS.CO.ID – Hakim Konstitusi, Saldi Isra mengemukakan pendapat minoritas atau dissenting opinion terhadap keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak permohonan Anies-Muhaimin terkait sengketa hasil Pilpres 2024.
Saldi berpendapat bahwa sebagian argumen yang diajukan oleh Anies-Muhaimin memiliki dasar yang kuat, sehingga memerlukan pemungutan suara ulang dalam Pilpres 2024.
Dia juga menegaskan bahwa Presiden Jokowi telah memanfaatkan program bantuan sosial (bansos) secara politis dan menggerakkan aparatur negara demi kepentingan kemenangan pasangan Prabowo-Gibran.
“Argumen yang diajukan oleh pemohon terkait politisasi bansos dan penggunaan aparatur negara atau penyelenggara negara adalah sah menurut hukum,” kata Saldi di ruang sidang MK, Senin (22/4/2024).
Karenanya, menurutnya, MK seharusnya memerintahkan KPU untuk menyelenggarakan Pemungutan Suara Ulang (PSU) dalam Pilpres 2024 di beberapa wilayah. Tindakan ini dimaksudkan untuk memastikan integritas pemilihan yang berlangsung secara jujur dan adil.
“Mahkamah seharusnya menginstruksikan dilakukannya pemungutan suara ulang di beberapa daerah sebagaimana disebut dalam pertimbangan hukum sebelumnya,” ujar wakil ketua MK itu.
Selain Saldi, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dan Arief Hidayat juga menyampaikan pendapat yang berbeda. Sementara lima hakim lainnya, atau mayoritas, dari Mahkamah Konstitusi menilai bahwa permohonan Anies-Muhaimin tidak memiliki dasar hukum yang kuat secara keseluruhan.
“Dalam inti permohonan, menolak permohonan yang diajukan oleh Pemohon (Anies-Muhaimin) secara menyeluruh,” kata Ketua MK, Suhartoyo.
Dalam pokok permohonannya, pasangan Anies-Muhaimin meminta pembatalan Keputusan KPU Nomor 360 yang menetapkan Prabowo-Gibran sebagai pemenang dengan perolehan suara tertinggi sebanyak 96.214.691 suara.
Mereka juga mengajukan permohonan kepada Mahkamah Konstitusi untuk mendiskualifikasi Prabowo-Gibran sebagai peserta Pilpres 2024 serta memerintahkan KPU untuk mengadakan pemungutan suara ulang Pilpres 2024 tanpa melibatkan Prabowo-Gibran.
Permohonan ini didasarkan pada keyakinan bahwa pencalonan Gibran tidak sah, serta alasan bahwa Presiden Jokowi terlibat dalam pelanggaran yang terstruktur, sistematis, dan masif (TSM), seperti penyalahgunaan bansos demi kepentingan Prabowo-Gibran.
Dalam putusan sengketa hasil pemilihan presiden (Pilpres) 2024 yang diajukan oleh Anies Rasyid Baswedan-Abdul Muhaimin Iskandar, tiga hakim konstitusi menyampaikan pendapat berbeda atau dissenting opinion, yaitu Saldi Isra, Enny Nurbaningsih, dan Arief Hidayat.
Saldi menjelaskan bahwa ada dua hal yang mendorongnya untuk mengambil dissenting opinion. Pertama adalah penggunaan bantuan sosial (bansos) yang dianggap sebagai alat untuk memenangkan salah satu pasangan calon dalam Pilpres 2024.
“Dan yang kedua, terkait dengan keterlibatan aparat negara, pejabat negara, atau penyelenggara di beberapa daerah,” jelas Saldi menyampaikan dissenting opinion-nya.
Dia menjelaskan bahwa banyak penelitian dan referensi yang mengungkapkan penggunaan program pemerintah sebagai alat untuk memenangkan pasangan calon tertentu.
Ada dua jenis program yang seringkali digunakan secara tidak langsung untuk kepentingan kampanye, yaitu pembangunan proyek besar dan program yang langsung berinteraksi dengan pemilih.
Dalam konteks ini, sulit untuk memisahkan peran presiden sebagai kepala negara dengan pendukung salah satu pasangan calon, karena program-program pemerintah tersebut bisa diubah menjadi sarana untuk mempengaruhi hasil pemilihan.
“Individu yang menduduki posisi tertinggi dalam hierarki pemerintahan bisa saja membela diri dengan alasan bahwa percepatan program yang mereka lakukan adalah bagian dari upaya menyelesaikan agenda pemerintahan sebelum masa jabatannya berakhir,” kata Saldi.
“Namun, program tersebut juga bisa disamarkan dan dimanfaatkan sebagai alat untuk memberikan dukungan kepada pasangan calon yang berpartisipasi dalam pemilihan presiden dan wakil presiden,” kata Saldi menambahkan.
Meskipun begitu, tanggung jawab utama seorang hakim adalah menjatuhkan keputusan atas perkara yang diajukan kepadanya dengan penuh keadilan. Hakim harus mencari kebenaran berdasarkan fakta dan bukti yang kuat.
“Jika dalam argumen yang diajukan oleh pemohon (Anies-Muhaimin) terdapat klaim mengenai pelanggaran terhadap regulasi pemilu, maka fakta-fakta tersebut harus dinilai sejauh mungkin berdasarkan norma yang tercantum dalam peraturan hukum pemilu. Saya yakin bahwa tidak ada sistem hukum yang sempurna, bahkan yang paling lengkap sekalipun, kecuali hukum yang ditetapkan oleh Yang Maha Kuasa,” pungkas Saldi. (fer)