Kekerasan di Sekolah Terus Berulang, P2G: Alarm Keras Pendidikan Nasional

Perundungan-sekolah

Ilustrasi korban perundungan. Foto: Freepik

INDOPOS.CO.ID – Dewan Pengurus Nasional Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) menyesalkan kekerasan di lingkungan sekolah masih terus terjadi. Tercatat dalam pekan keempat September 2023 ada tiga kasus dugaan kekerasan yang melibatkan pelajar.

Padahal seharusnya sekolah menjadi ekosistem yang nyaman, sehat, berpihak kepada tumbuh kembang anak, serta aman bagi seluruh warga sekolah.

Menurut Koordinator Nasional P2G Satriwan Salim, kondisi tersebut menjadi peringatan bahaya bagi dunia pendidikan di Tanah Air. Bahkan dapat merusak interaksi sosial.

“Runtutan kekerasan terus terjadi di sekolah, seminggu ini sudah ada tiga kasus. Seakan kekerasan tak dapat distop, lagi-lagi siswa dan guru jadi korban, alarm keras bagi pendidikan nasional,” kata Satriwan dalam keterangannya, Jakarta, Kamis (28/9/2023).

P2G mencatat ada lima kasus indikasi kekerasan di sekolah dalam satu bulan terakhir. Pertama, kasus guru mencukur rambut belasan siswi karena tak pakai jilbab sesuai aturan sekolah di Lamongan.

Kedua, seorang anak SD di Gresik diduga dipalak dan dicolok matanya sampai buta oleh kakak kelas. Ketiga, seorang guru madrasah aliyah di Kecamatan Kebonagung, Demak dibacok siswa saat asesmen tengah semester.

Keempat, seorang siswa dipukuli dengan bertubi-tubi atau dianiaya oleh siswa lain sambil direkam oleh siswa lainnya. Pelaku dan korban diduga dari SMP Negeri 2 Cimanggu, Cilacap.

Kelima, seorang siswi SDN 06 Pesanggarahan Jakarta Selatan, diduga kuat lompat dari lantai 4 gedung sekolahnya. Berdasarkan keterangan Kasatreskrim Polres Jakarta Selatan, korban loncat dari ketinggian di lantai 4 sekolahnya. Sementara motif dan dugaan perundungan masih didalami.

Pemerintah telah memiliki Permendikbudristek Nomor 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Satuan Pendidikan (PPKSP) Agustus 2023, yang diharapkan mampu mencegah kekerasan di sekolah. Namun, malah sebaliknya. “Lemah dalam implementasi di sekolah,” ujar Satriwan. (dan)

Exit mobile version