INDOPOS.CO.ID – Peneliti Politik Senior Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Prof Lili Romli mengatakan, format debat baru oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) merupakan pelanggaran. Sebab dalam Peraturan KPU, disebutkan ada 5 kali debat, yang terdiri atas 3 kali debat capres dan 2 kali debat cawapres.
“Jika bunyi aturannya seperti itu, mestinya format debat mengacu pada PKPU tersebut. Jika tidak mengacu pada aturan tersebut, bisa masuk kategori pelanggaran karena sedang menabrak atau menyimpang dari aturan yang sudah dibuat,” ujar Prof Lili Romli di Jakarta, Senin (4/12/2023).
Anehnya, dikatakan dia, meski tahu pelanggaran namun KPU masih tetap melakukannya dengan berbagai alasan. Rasanya KPU sadar akan resikonya. “Saya kira nanti jika tetap dilanggar, bisa ada yang melaporkannya ke Bawaslu bahwa KPU tidak tunduk pada aturan yang ada,” katanya.
Menurut Lili, aturan debat di PKPU dibuat bukan tanpa alasan. Format debat yang lama lebih bermanfaat bagi masyarakat mendengar kemampuan para calon. “Sesungguhnya jika format debat yang sudah ada dalam PKPU tersebut, di mana ada debat capres dan cawapres, publik akan mendapatkan informasi dan pengetahuan yang komprehensif tentang kemampuan atau kompetensi baik itu kompetensi capres maupun cawapresnya,” jelas Prof Lili.
Sekarang dengan tidak dipisahnya, publik tidak akan tahu sejauh mana kompetensi dari masing pasangan. “Berdasarkan pengalaman sebelumnya, kerap waktunya habis dijawab oleh capresnya, sementara cawapres tidak mempunyai kesempatan yang luas, karena waktunya sudah mau habis. Baru mau jawab, tiba-tiba bel berbunyi yang menandakan waktu habis,” ungkap Prof Lili.
Dia sangat menyayangkan perubahan format debat Capres-Cawapres kali ini. Semakin memperkuat opini adanya intervensi. “Sangat disayangkan, jika KPU tetap mau merubah format debat. Lebih jauh, publik bisa beropini bahwa perubahan format debat karena ada intervensi,” ungkap Prof Lili. (nas)