INDOPOS.CO.ID – Akademisi Universitas Bung Karno, Salamuddin Daeng mengatakan pihak yang kalah tentu berat menerima hasil pemilu secara lahir batin. Itulah konsekuensi yang memang harus diterima dan siapa pun baik yang kalah maupun yang hampir menang sudah mengetahui konsekuensi ini sejak semula.
“Wajar jika pascapemilu suara penolakan terhadap hasil pemilu akan muncul dengan berbagai argumentasi mulai dari pemilu curang, KPU dan bawslu memihak, mark up suara pemenang, dan lain sebagainya,” katanya kepada indopos.co.id, Sabtu (17/2/2024).
Menurutnya,sulit sekali di era sekarang melakukan kecurangan yang terencana dan luas, atau disebut sebagai kecurangan sistematis dan masiv itu, sehingga bisa membatalkan hasil pemilu sehingga pemilu bisa diulang.
“Pemilu 2024 sendiri berlangsung di era digitalisasi, era keterbukaan, ketelanjangan, jangankan jumlah suara di TPS yang disaksikan ratusan orang, jumlah uang di dompet masing masing aja ketahuan sekarang berapa jumlahnya,” ujarnya.
Ia menjelaskan di Indonesia yang merupakan salah satu negara memiliki nitizen paling menakutkan di dunia, paling julit, haus informasi, sangat ngotot kalau merasa benar.
“Banyak negara, individu dan organisasi di dunia ini yang telah merasakan keganasan nitizen Indonesia. Banyak yang ampun-ampunan meminta nitizen Indonesia menghentikan serangan terhadap akun akun mereka. Ini Nitizen paling patriotik sedunia,” jelas dia
Ia menuturkan, masyarakat Indonesia adalah pengguna medsos terbesar di dunia, ini keuanggulan dan sekaligus merupakan tantangan.
Di satu sisi akan menjadi media pendidikan dan pembelajaran politik dll yang cepat, namun beberpa sisi perlu diwaspadai terutama menijgkatkan misinformasi dan disinformasi.
“Hal ini juga telah terjadi selama proses pemilu 2024. Namun jika melihat hasilmya, tampaknya kita harus berkesimpulan bahwa kemampuan menyaring informasi pengguna medsos sudah cukup mantap,” tutur dia.
Ia menambahkan jika melihat bagaimana pergerakan informasi selama pemilu, tidak mudah melakukan provokasi dengan disinformasi, karena pelaku yang menyampaikan realitas atau fakta sebenarnya jauh lebih banyak.
“Mereka menyebarkan informasi atau fakta lapangan dengan berbagai motivasi yang baik, ada sebagai tiktoker, youtuber, facebooker, dan lain sebagainya, dan informasi seru, menggembirakan, menarik dan lucu lucu jauh lebih deras dibandingkan informasi yang provokatif,” imbuh dia.
Ia menekankan akan sangat sulit memanipulasi bukti bukti kecurangan pemilu, apalagi bukti bahwa kecurangan perhitungan suara yang dapat membatalakan hasil pemilu.
Karena untuk membutikan kecurangan yang dapat mempengaruhi hasil pemilu maka harus membuktikan itu berlanggsung ratusan ribu TPS.
Jika kita hitung selisih suara nomor 01 dan 02 dan 03 misalnya, 27% vs 57% vs 16 % maka ada selisih suara sebanyak 30 % an antara 01 dan 02, atau terjadi di sekitar 200 an ribu TPS.
“Bagaimana caranya? Memanipulasi angka satu TPS aja jaman sekarang susah apalagi ratusan ribu TPS. Ini era Julit mas e,” pungkasnya. (fer)