INDOPOS.CO.ID – Kejadian tsunami non seismik semakin marak terjadi. Maka dari itu, sharing pengetahuan perlu dilakukan lebih mendalam antara seluruh working group dari setiap kawasan, sehingga pembangunan sistem peringatan dini tsunami berbasis non seismik dapat lebih diperkuat.
Pernyataan tersebut diungkapkan Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati dalam keterangan, Rabu (28/2/2024).
Ia mengatakan, sistem peringatan dini tsunami pada komponen hulu jauh lebih kuat dibandingkan di hilir. Oleh karenanya perlu untuk dilakukan upaya penguatan infrastruktur peringatan dini tsunami berbasis komunitas (Community-based Early Warning Infrastructure).
“Sistem peringatan dini tsunami yang ada umumnya hanya ditujukan untuk tsunami megathrust yang sebelumnya didahului oleh gempa bumi besar,” ujarnya.
Di Indonesia sendiri, lanjut dia, pernah merasakan dua kali tsunami yang justru bukan disebabkan gempa bumi, yaitu tsunami Palu yang terjadi pada bulan September 2018 disebabkan oleh longsor laut yang dipicu oleh gempabumi. Dan, tsunami Selat Sunda yang terjadi pada bulan Desember 2018 yang dipicu aktivitas gunung berapi yang mengakibatkan longsor laut dan akhirnya membangkitkan Tsunami.
“Maka dari itu, ketidakmampuan sistem peringatan dini tsunami dalam memberikan informasi yang cepat terhadap tsunami yang dipicu aktivitas non-seismik harus menjadi perhatian utama negara-negara di dunia,” tuturnya.
Ia menyebut penguatan sistem peringatan dini dan mitigasi tsunami di Samudra Hindia di antaranya adalah telah terbangunnya Multi-Hazard Platform, serta diakuinya 12 komunitas di Samudera Hindia sebagai UNESCO-IOC Tsunami Ready Community. Dan terbangunnya Sistem Peringatan Dini untuk infrastruktur kritikal di Yogyakarta Internasional Airport dan Ngurah Rai Airport. (nas)