INDOPOS.CO.ID – Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Abdul Fikri Faqih mendesak Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) membentuk tim satuan tugas (satgas) tanggap darurat untuk perlindungan dan advokasi para korban dugaan human trafficking (tindak pidana perdagangan orang) berkedok program magang (ferienjob) mahasiswa di Jerman.
“Banyaknya mahasiswa yang jadi korban, karena ada 33 kampus yang terlibat, data lain menyebut 41 kampus sudah mengirim mahasiswanya, segera bentuk tim satgas untuk pendampingan korban,” tegas Abdul Fikri Faqih dalam keterangan, Minggu (31/3/2024).
Politisi PKS ini menyayangkan, program magang ke Jerman ini dibungkus seolah bagian dari program Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) yang baru diluncurkan Kemendikbudristek dan berlangsung di banyak kampus swasta maupun negeri.
Beberapa oknum travel maupun karyawan kampus yang menawarkan langsung kepada mahasiswa dengan mengimingi gaji besar dan konversi nilai SKS, namun dengan biaya akomodasi mandiri secara tunai maupun pinjaman berjangka waktu.
Belakangan, menurut dia, program tersebut ternyata merugikan mahasiswa dan dianggap penipuan, bahkan kemudian diduga polisi sebagai TPPO.
“Kalau tidak sesuai MBKM apa iya ya? Kok langsung TPPO? Ngeri sekali ini. Kemendikbud mestinya mengambil alih kasus ini jadi masalah pendidikan dan buat tim untuk menertibkan, bukan langsung menjadi masalah hukum. Apalagi kampus-kampus tersebut masuk dalam jajaran yang bereputasi,” kata Fikri.
Terlepas adanya oknum, Fikri menduga kasus ini bukti bahwa kurangnya pengawasan dan kehati-hatian pihak penyelenggara pendidikan. Sampai terjadi pengiriman mahasiswa ke Jerman hingga 1.900 orang menurut data terbaru Kemenkopolhukam.
“Kemana pihak Irjen, Dirjen Dikti, hingga LLDIKTI sampai kasus ini melebar begitu luas dan massif?” tanya dia.
Sebelumnya, Bareskrim Polri mengungkap TPPO dengan modus ferienjob ke Jerman atas laporan KBRI di Berlin soal adanya empat mahasiswa yang sedang ikut ferienjob. Alih-alih magang, para mahasiswa tersebut malah dibebani dana talangan Rp 30-50 juta. Pengembalian dana tersebut dengan cara pemotongan upah kerja tiap bulan.
Sementara itu, kontrak kerja dibuat dalam bahasa Jerman. Sehingga mahasiswa kesulitan memahami kalimat yang tertuang dalam kontrak kerja itu.
“Mengingat mahasiswa sudah berada di Jerman, sehingga mau tak mau menandatangani surat kontrak kerja dan working permit tersebut,” kata Dirtipidum Bareskrim Polri Brigjen Djuhandhani Rahardjo Puro. (nas)