INDOPOS.CO.ID – Peningkatan anggaran yang signifikan untuk pengadaan alat utama sistem senjata (alutsista) yang bersumber dari utang luar negeri patut disayangkan.
Demikian menurut Dr. Robi Nurhadi, dosen Strategi Keamanan, Jurusan Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Nasional Jakarta.
Tindakan tersebut memberi pesan negatif pada negara-negara sekitar Indonesia. “Arm race atau perlombaan senjata akan terjadi di kawasan Asia Tenggara dan sebagian Pasifik,” ujar Robi Nurhadi, PhD, dalam keterangannya, Selasa (4/12/2023).
Normalnya, kata dia, peningkatan anggaran pertahanan sebuah negara seiring dengan peningkatan pendapatan negara tersebut.
“Jadi, kalau peningkatan anggaran bersumber pada utang luar negeri, maka Indonesia sedang memberi sinyal adanya ancaman yang menjadi kebutuhan mendesak akan penguatan sistem pertahanannya,” papar doktor dari Pusat Studi Sejarah, Politik dan Strategi Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM) yang mengajar pada Jurusan Hubungan Internasional, dan Magister Ilmu Politik, Universitas Nasional.
Apakah saat ini Indonesia sedang mengalami “persepsi ancaman” seperti yang jadi dasar peningkatan pinjaman luar negeri untuk penguatan postur alusista tersebut?
“Saya melihat Indonesia baik-baik saja dalam konteks hubungan internasional dan dinamika politik global. Situasi lingkungan pertahanan kita relatif on control. Fakta yang riil saat ini adalah Indonesia sedang menuju Pilpres 2024 yang tinggal dua bulan lagi,” terang Robi.
Justru pola yang dilakukan Indonesia saat ini, lanjutnya, terlihat sebagai pola yang umumnya dilakukan oleh negara-negara yang sedang konflik atau sedang perang.
“Dengan tindakan peningkatan anggaran pertahanan seperti itu, profil politik luar negeri Indonesia mengarah ke deliberative style. Itu akan meningkatkan ketegangan politik di kawasan Asia Tenggara dan sekitarnya,” tandas mantan Tim Ahli Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi.
Selain itu, pembelian alusista bukan pembelian barang biasa. “Pembelian tersebut akan membawa Indonesia pada rezim keamanan di mana alusista tersebut bersumber. Ini juga akan berdampak pada kemungkinan terganggunya politik bebas aktif Indonesia,” lanjutnya.
“Dari segi bisnis, jual-beli persenjataan relatif besar komisinya. Dan karena alasan keamanan, sulit diungkap sampai pada satuan penjelasan anggaran yang detail. Maka fenomena pengadaan alusista seringkali dilihat sebagai kebijakan yang rentan korupsi,” pungkas Robi.
Sebelumnya, Co-Captain Tim Pemenangan Nasional Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar (Timnas AMIN) Tom Lembong telah menyuarakan keprihatinannya terkait pengelolaan keuangan negara yang dinilainya tidak terkelola secara profesional. Tom mempertanyakan urgensi dan justifikasi di balik melejitnya anggaran Kementerian Pertahanan yang bersumber dari hutang luar negeri.
Berdasarkan laporan Menteri Keuangan Sri Mulyani, telah disepakati bahwa anggaran belanja alutsista yang dibiayai dengan pinjaman luar negeri akan naik sebesar 4.25 miliar dolar, dari sebelumnya 20.75 miliar dolar untuk periode 2020-2024, menjadi 25 miliar dolar. Kenaikan tersebut setara dengan sekitar 60-70 triliun rupiah menggunakan kurs hari ini.
Dalam konteks ini, Tom mengekspresikan kekhawatiran atas urgensi dan proporsi alokasi anggaran tersebut. “Seberapa besar urgensi mengguyur dana puluhan trilyun untuk tambahan alutsista sementara rakyat semakin tertekan dengan harga pangan yang terus naik, kesulitan akses kesehatan, mahalnya pendidikan, minimnya lapangan kerja, serta kesulitan memiliki rumah?” tanyanya.
Sebagai seorang mantan menteri, Tom menilai bahwa publik berhak mendapatkan rincian dan penjelasan yang transparan mengenai fantastisnya peningkatan anggaran pertahanan. Ia menyoroti perlunya penyeimbangan antara kebutuhan pertahanan dengan isu-isu yang dihadapi rakyat.
Tom juga mengkritisi kinerja Kementerian Pertahanan yang dinilainya problematik. Kontroversi mengenai minimnya transparansi, potensi konflik kepentingan, dan kurangnya penjelasan mengenai prioritas dan rencana strategis kementerian tersebut menjadi sorotan.
Penilaian Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (SAKIP) yang hanya memberikan nilai B bagi kementerian tersebut, lanjut Tom, semakin menambah keprihatinan. Nilai B merupakan kategori nilai SAKIP terendah di antara 33 Kementerian di daftar penilaian SAKIP oleh Kementerian PANRB pada tahun 2022, dimana terdapat 9 kementerian yang mendapatkan nilai B, sedangkan kementerian lainnya mendapatkan nilai BB (20 kementerian) dan A (4 kementerian).
Tom berharap jika Kementerian Pertahanan terus mengambil sikap tidak transparan dalam peningkatan anggaran ini, maka sebagai pihak yang menyetujui peningkatan anggaran tersebut, Kementerian Keuangan bisa menjadi pihak yang memberikan penjelasan teknokratis dan profesional kepada masyarakat. Ia menekankan pentingnya transparansi dan kejelasan dalam mengelola keuangan negara.
“Sebenarnya saya terkejut, bahwa Ibu Sri Mulyani sebagai profesional yang dihormati banyak kalangan di masyarakat luas bisa dengan begitu saja menyetujui kenaikan anggaran pengadaan alutsista yang begitu drastis, apalagi di tengah-tengah pemilu tanpa ada keterangan yang rinci, tidak ada transparansi. Ibu Sri Mulyani adalah harapan terakhir, garda terakhir Menteri yang profesional, teknokratis, dan kita benar-benar berharap supaya beliau bisa memberikan keterangan yang lebih transparan, rinci, dan terbuka,” tegasnya. (dil)