INDOPOS.CO.ID – Kuasa hukum atau pengacara ahli waris PT Krama Yudha, Damianus Renjaan, menjelaskan mengenai posisi ahli waris PT. Kdama Yudha dengan Akta 78 serta inti dari kasus yang sebenarnya terjadi.
“Sjarnobi adalah pendiri dan pengembang sukses dari PT Krama Yudha (Persero). Melihat kemajuan perusahaannya, Sjarnobi berkeinginan untuk berbagi keberhasilannya dengan tiga saudara kandungnya, yakni Srikandi, Nuni, dan Abi, juga sahabat dekatnya, Makmunar,” katanya dalam keterangan rilis yang diterima INDOPOS.CO.ID Minggu (20/8/2023).
Menurutnya, demi menjadikan niatnya tercatat, Sjarnobi membuat kesepakatan di hadapan notaris SP Henny Singgih pada 20 April 1998, yang menghasilkan akta notaris dengan nomor 78 (akta 78).
“Dalam akta tersebut, Sjarnobi berkomitmen untuk memberikan tambahan sebesar 18 persen dari keuntungan bersih PT Krama Yudha kepada Srikandi, Nuni, Abi, dan Makmunar. Namun, besaran pasti dari tambahan tersebut tidak dijabarkan dalam akta 78. Akta tersebut juga menyatakan bahwa tambahan akan diberikan ketika perusahaan mencapai keuntungan dan Sjarnobi tetap menjadi pemegang mayoritas saham,” ujarnya.
Dia menjelaskan, bonus ini berhasil diberikan mulai dari 1998 hingga 2001. Namun, setelah Sjarnobi meninggal pada 13 April 2001, perjanjian bonus tersebut tidak berlaku lagi.
“Akta 78 juga mengatur bahwa bonus diberikan secara sukarela tanpa adanya kewajiban balas jasa, sebagai bentuk perikatan wajar (naturlijke verbintenis) sebagaimana diatur dalam Pasal 1359 Ayat (2) KUHPerdata. Selain itu, Akta 78 mencatat bahwa Srikandi, Nuni, Abi, dan Makmunar tidak memiliki hak untuk mengakses buku catatan perusahaan karena mereka bukan pemegang saham. Rozita, Ery, dan Termohon III tidak memiliki pengetahuan mengenai isi akta 78, sehingga mereka tidak dapat diminta bertanggung jawab atas perjanjian tersebut,” jelasnya.
Dia menuturkan, fakta menunjukkan bahwa baik Pemohon maupun Termohon belum pernah terdaftar sebagai anggota direksi, komisaris, atau pemegang saham PT Krama Yudha, sehingga ahli waris tidak mengetahui tentang pencatatan keuangan perusahaan, seperti yang dinyatakan dalam klaim yang diajukan oleh Arsjad dan pihak lainnya.
“Pendapat yang diutarakan oleh Rozita dan Ery adalah bahwa permohonan dari Arsjad dan pihak lainnya telah kedaluwarsa sesuai dengan ketentuan Pasal 210 UU 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, yang menetapkan batas waktu 90 hari sejak kematian pewaris. Sjarnobi wafat pada 13 April 2001 dan permohonan PKPU yang diajukan oleh Arsjad dan pihak lainnya baru dilakukan pada 25 Juli 2023, melewati batas waktu 312 hari,” tuturnya.
Dia menambahkan, persyaratan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) berdasarkan Pasal 222 ayat (1) dan (3) serta Pasal 8 ayat (4) UU No 37/2004 adalah adanya utang yang dapat dibuktikan dengan cara yang sederhana.
“Namun, Termohon PKPU I dan II (ahli waris, red) tidak memiliki pengetahuan mengenai utang tersebut, dan mereka juga tidak terlibat dalam penandatanganan akta 78 yang menjadi dasar dari utang tersebut. Selain itu, terdapat perselisihan antara Termohon I dan II melawan Termohon III, yang memerlukan keputusan pengadilan terkait penerusan hak waris,” imbuhnya.
Pihak Rozita dan Ery berharap majelis hakim bisa menangani perkara PKPU ini dengan profesional.
“Apalagi klien kami sebagai ahli waris generasi ketiga dari para pembuat perjanjian adalah warga negara asing. Mereka butuh kepastian dan perlindungan hukum yang layak,” pungkasnya. (fer)